Two (I)

773 102 7
                                    


Duak!!!

"Aduh!" Aku tersentak karena dagu hingga perutku terhantam sebuah kayu bertekstur keras yang ternyata merupakan lantai kamar tidurku. Hmm.. Tunggu, bukankah aku seharusnya dibangunkan oleh suara anak ayam?

Aku menatap kosong ke depan, ke kiri, dan ke kanan. Setelah berhasil mencerna lokasi yang sekarang aku tinggali, aku terkejut karena ternyata apa yang kurasakan hanya mimpi. Sebenarnya, tidak cocok disebut mimpi karena hal itu benar-benar kualami ketika umurku baru menginjak 10 atau 11 tahun. Aku terkejut dengan betapa 'hidupnya' aku di mimpi tersebut, seperti benar-benar mereka ulang kejadian.

Terlalu lelah untuk memikirkan berbagai kemungkinan, aku memilih untuk menutup wajahku dengan selimut dan berusaha untuk tidur kembali. Namun, saat aku baru saja meringkuk ke sisi kanan tempat tidur, ibuku masuk dengan meneriakkan satu kata yang paling aku benci, "Zhong Chenle, bangun!!"

Aku berusaha menutup kedua telingaku dengan kepalan tangan, "Bu, ini masih terlalu pagi!" Aku berusaha memelas, padahal melihat waktu saja belum.

"Hey, ini sudah jam berapa? Apa kau lupa kalau harus latihan pukul delapan dan langsung rekaman untuk Music Bank tepat pukul sepuluh?" Seperti yang beliau lakukan di dalam mimpiku, beliau langsung menuju jendela dan merapikan tirai yang sedikit berdebu. Mendengar perkataannya, aku dengan ganas memburu smartphone-ku untuk mengecek pukul berapa tepatnya sekarang. Ke-horror-an terlihat jelas di wajahku ketika mengetahui bahwa jam sudah menunjukkan pukul 07.30.

"我的妈呀(Wǒde mā ya)! Kenapa tidak membangunkanku sejak tadi? Kalau begini, aku bisa disuruh push up lima seri!" Aku meninggalkan selimut yang melintang berantakan, segera mengambil handuk, pakaian dalam, dan bergegas mandi. 

Ah, sungguh, kau sudah dewasa, Chenle! Bagaimana bisa lupa waktu seperti ini! Ah, pasti gara-gara mimpi yang kurang mengenakkan itu.

Pukul 08.15 tepat, aku sudah menginjakkan kaki di ruang latihan dengan napas terengah-engah. "Aku.. Sampai!" Aku menggelinding di lantai setelah melempar handbag yang isinya sudah tidak tertata karena terlalu terburu-buru berangkat dari rumah. Para member yang sudah menyelesaikan pemanasan tentu saja kaget dan bingung melihat tingkahku yang sangat kekanak-kanakan ini.

"Chenle, cepat pemanasan! Sebagai hukuman, push up tiga seri jika ingin ikut rekaman Music Bank hari ini!" Pelatih dengan tegasnya memberikan ganjaran padaku. Yah, kalau yang seperti ini, aku sudah terbiasa untuk melakukannya. Ditambah lagi, hukuman yang diberikan lebih ringan dari yang aku pikirkan (kupikir lima seri, ternyata tiga sudah cukup baginya). Setelah melepas jaket dan masker hitam yang kukenakan, aku segera melakukan pemanasan dan melaksanakan hukuman dengan patuh, serta segera berlatih bersama para member.

Setelah 30 menit berlalu, kami diizinkan untuk beristirahat. "Wah, hauuus!" Huang Ren Jun atau Renjun berlari kecil menuju sudut ruangan tempat tasnya diletakkan dan menenggak air sampai seperempat botol besarnya. "Chenle-ya, bagaimana kau bisa terlambat?" Lee Jeno, leader grup kami berusaha mengevaluasi waktu latihan kami. Bingung untuk mulai bercerita, aku hanya menjawab, "Aku tidak mendengar alarm berbunyi!" Kemudian, para member hanya berkata bahwa aku belum meninggalkan kebiasaan sebagai remaja. Memang benar, seharusnya aku yang sudah dewasa sekarang bisa lebih mandiri.

Ketika aku sedang meneguk air mineral dari botol kemasan yang kubawa, seseorang dengan sengaja memukul punggungku hingga air yang kuminum nyaris saja membasahi seluruh pakaianku. Setelah menutup botol minuman, kucari wajah si jahat itu, dan di tentunya hanya ada satu orang yang berani melakukan tindakan berbahaya itu padaku. "YA! JISUNG PWARK!" Aku berteriak sambil mengejarnya dan pura-pura ingin memukulnya. Terlalu sering bersenda gurau, kami hanya tertawa bersama-sama ketika ada salah satu dari kami yang melakukan tindakan berisiko terhadap yang lain.

"Ah, 귀여워(gwiyeowo)!" Jisung berlarian pelan dari seberang sisi ruangan ke seberangnya lagi. Aku tak mengerti mengapa dia melakukan itu, namun aku agak benci ketika dia mengucapkan kata itu. Jika dia yang mengatakannya, seakan-akan aku ini hanya dianggap seorang bayi. Padahal kenyataannya, aku lebih tua darinya (walau hanya berbeda tiga bulan saja, sih).

Di luar ekspektasiku yang menganggap pembicaraan kami sudah selesai, dia justru menghampiriku lagi dan sedikit mendekat ke telinga, "Tidak bisa tidur tadi malam?" Tanyanya dengan suara yang lembut. Daripada tersentuh, aku justru bingung menanggapi sikapnya yang bisa berubah drastis hanya dalam hitungan detik.

"Tidak.. Kenapa kau mengiranya begitu?" Aku berusaha menghindari tatapannya, entah kenapa. Benar, aku iri terhadap matanya yang kecil. Aku bahkan pernah berkata bahwa mata kecilnya yang katanya selalu ia benci merupakan salah satu dari sekian banyak pesona Park Jisung. Namun, kadang kala matanya itu benar-benar mengintimidasi dan membuatku susah untuk berbohong.

"괜찮아(gwaenchana). Biasanya kalau kau terlambat, kau hanya bisa tidur setelah subuh. Hahaha," Dia tertawa kecil sambil menghadapkan jari telunjuknya ke arahku, seakan menudingku karena tidak memiliki waktu tidur yang cukup. Aku hanya bisa menggeleng, "Tidak, bukan seperti itu. Aku hanya mengalami sedikit.. Mungkin bisa disebut mimpi buruk." Aku tidak berani untuk bercerita lebih lanjut.

"Wah, begitu," Katanya sedikit terkejut dan menyiratkan wajah prihatin, "Kalau kau ingin bercerita, kapan pun, aku akan mendengarkan!" Dia dengan yakin mengacungkan ibu jarinya sambil berusaha melakukan kedipan (wink) yang menurutku gagal. "고마워(Gomawo).. Mungkin di lain waktu saat kita tidak sibuk," Mendengar hal itu, Jisung langsung mengiyakan.

Meksipun selalu berlagak, sikap Park Jisung inilah yang bisa menghiburku ketika aku melewati hari yang kurang menyenangkan. Dan sikap itu jugalah yang meyakinkanku bahwa dialah anak berpakaian Hanbok, seseorang yang ingin kutemui lagi sejak International Children's Festival tahun 2011 lalu.

Sebenarnya, aku tidak pernah menduga bahwa aku dan dia akan berada pada satu tim. Namun, aku mengetahui bahwa dia sudah direkrut SM Entertainment beberapa hari setelah kami bertemu.

Pertama kali aku mengetahui fakta tersebut adalah ketika aku tidak sengaja memilih channel TV Korea di rumah. Suatu program yang menarik perhatianku kala itu adalah Mickey Mouse Club yang menampilkan lagu-lagu Disney yang sangat kusukai. Dari acara itulah aku mengenal wajah seorang anak yang tidak asing, wajah yang sejujurnya selalu kuingat hingga kini. Di acara tersebut, dikatakan bahwa seluruh artis yang tampil merupakan anak-anak yang tergabung dalam SM Rookies dari SM Entertainment.

Kala itu, aku tidak begitu paham mengenai dunia perusahaan keartisan. Aku belum tahu kalau SM Entertainment termasuk ke top 3 perusahaan keartisan terbesar di Korea Selatan. Aku hanya berpikir untuk bisa debut di sana dan tentunya bertemu dengan anak itu.

Entah mendapat dorongan dari mana, aku langsung bertanya kepada ayahku mengenai persoalan 'debut' di Korea. "Ayah, bagaimana caranya agar aku bisa melakukan konser di Korea?" Aku bertanya dengan polosnya, tanpa tahu-menahu mengenai kerasnya latihan seorang trainee di Korea Selatan. Saat itu, ayahku yang baru saja pulang dari kantornya dan sedang menyantap makan malam sontak menghentikan suapan nasinya dan memandang tepat ke arahku.

"Hm, apa kau ingin melakukan debut di Korea? Ayah memiliki seorang kenalan dari sebuah perusahaan terkena di sana, kalau kau mau," Dari nada bicaranya, memang seakan-akan beliau hanya berusaha berbohong untuk menyenangkan anak keduanya (aku) yang masih mungil ini. Namun, melihat sorot matanya yang tidak berkedip, aku mengetahui bahwa beliau tidak main-main untuk men-debut-kanku di Korea Selatan. 

"Aku mau, tapi aku ingin dinilai berdasarkan kelebihanku, bukan dari koneksi. Tolong beritahukan kapan audisinya dibuka!" Aku berkata dengan yakin.

================================================================================

Zhong Chenle bergegas ke Korea dengan harapan bisa bertemu Jisung Pwark~ uwu ~

- shortietypes

Heaven and EarthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang