Fifteen (I)

221 45 8
                                    

Empat hari sebelum The Dream Show dan beginilah perkembangan hari-hariku:

Pertama dan utama: Monoton, seperti robot yang dirancang hanya untuk hidup dan latihan, kemudian kembali tidur lagi.

Setelah perekaman self-documentary video, aku kembali dijemput ibuku dan pulang ke rumah.

Sejauh ini, tidak ada pesan lagi dari si sasaeng menyebalkan.

Entah dia sedang mengerjaiku atau sifatnya memang penurut sehingga dia oke-oke saja dalam memenuhi permintaanku untuk menjalankan rencanya setelah The Dream Show selesai.

Namun, bukan berarti aku bisa bernapas lega karena justru di saat seperti inilah kewaspadaanku memuncak sehingga pikiranku terus beputar setiap hari.

Kedua: Perseteruan dengan Park Jisung semakin menjadi-jadi.

Saat bersama para member, memang kami terlihat baik-baik saja. 

Bahkan terlihat sukses dalam menutupi segala kecanggungan dengan ikut tertawa dan bercanda bersama.

Namun ketika berdiri bersisian, kami tetap tidak menatap satu sama lain.

Atau lebih tepatnya, dia tidak ingin melihat ke arahku.

Seandainya sikap dingin Jisung itu hanya untuk mempermainkanku seperti memasang prank camera, aku akan memberinya standing ovation untuk aktingnya yang sangat berkelas, sungguh.

Seandainya yang dia lakukan itu hanya untuk lucu-lucuan semata, aku akan dengan senang hati menjadi korban dan pada akhirnya akan jadi orang yang tertawa paling keras ketika dia membuka rahasianya.

Sayangnya, dia melakukannya dengan serius.

Sayangnya, dia tidak sedang main-main.

Dan apa yang dia lakukan hingga berhari-hari ini semuanya salahku.

Salahku yang tidak mudah membuka rahasia dan yang tidak mampu mengontrol emosi.

Seperti puzzle jenga yang sudah terlanjur tidak seimbang dan kini malah kubuat rubuh hingga berserakan.

Kalau saja aku bisa diberi kesempatan, aku ingin bertanya pada Jisung mengenai perasaannya saat mengabaikanku seperti ini.

Apakah hatimu tenang-tenang saja?

Atau memang hanya aku yang merasa kehilangan, Jisung-ah?

Ketiga dan yang terberat adalah–

"Chenle-ssi."

Sesi melamunku kala istirahat latihan buyar ketika manager-nim menyebut nama sambil berjalan ke arahku sambil membawa sebuntal kertas yang kuduga berisi rancangan The Dream Show serta berbagai revisinya.

"Chenle-ssi, aku tahu kau sedang mengalami saat-saat yang sangat sulit sekarang – yah, walau aku tidak benar-benar tahu apa yang kumaksud."

Dia mendekat ke arahku, bahkan duduk bersila di lantai karena tak tersedia tempat duduk lain selain sofa mini yang sedang kududuki.

Tidak nyaman dengan posisi yang seakan merendah itu, aku segera mengikuti manager-nim untuk duduk di lantai, tepat di sebelahnya.

"Meskipun berat, aku dan para staf benar-benar minta tolong–"

Mengerti ke mana arah pembicaraan kami, aku buru-buru menyela dengan berkata, "Aku tahu."

Terlihat bingung dengan responku, manager-nim menungguku untuk melanjutkan perbincangan.

"Aku tahu dan aku benar-benar paham apa yang harus kulakukan, tapi.."

Heaven and EarthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang