Eight

316 61 5
                                    

Pukul 8 malam lebih 15 menit, aku dan Jisung tiba di dorm dalam kondisi sangat haus karena terlalu banyak berbicara selama perjalanan. Di depan pintu masuk, Jisung sempat bertanya apakah aku akan menginap di dorm atau tidak dan kujawab bahwa ibuku akan menjemput ke sini sebentar lagi.

Park Jisung bersikeras untuk menungguku sampai dijemput dan mengatakan dengan malu-malu bahwa tidak sopan untuk meninggalkan seorang teman sendirian.

Tak tahan dengan ekspresinya yang malu-malu, aku hanya menyahut, "Ah, bilang saja kau tak ingin meninggalkanku sendirian!" Seketika itu juga, Jisung mengalihkan pandangannya dari wajahku. Dalam hati aku tahu bahwa dia diam-diam mengiyakan penyataan tersebut.

Meskipun aku sedang bersorak kegirangan karena berhasil mengusili Jisung, sejujurnya aku merasa lega karena dia tidak meninggalkanku sendirian di lobby dorm yang cukup sepi malam ini. Sejak melangkah keluar dari restoran Malatang, aku merasa tidak nyaman karena seperti ada sepasang mata yang mengawasi, atau bahkan lebih. Sepanjang perjalanan tadi, aku terus berusaha memfokuskan diri pada lelucon-lelucon Jisung dan berusaha untuk tidak menggubris ketidaknyamananku itu dengan tertawa selepas mungkin.

Berkali-kali aku meyakinkan diri bahwa hal ini merupakan hal yang wajar sebagai seorang idol karena kupikir wajah kami memang sering ditampilkan di berbagai stasiun televisi sehingga tentu saja akan memancing perhatian publik. 

Namun, tatapan yang kurasakan ini berbeda dengan tatapan manis para fans yang berjalan mendekatiku saat fansign. Tatapan yang kurasakan ini lebih tajam dan tidak sudi menampakkan dirinya.

Ketika aku hendak memulai percakapan baru dengan Jisung, handphone-ku seketika bergetar dan menampilkan nama ibuku yang mengadakan panggilan. 

Aku yang terlonjak kaget dan sempat ditertawai oleh Jisung segera mengangkat, "Ha-halo?" Lalu ibuku segera memberi informasi bahwa beliau sudah siap dengan mobilnya di depan dorm.

Aku melirik ke luar melalui pintu masuk kaca dorm dan mendapati mobil ibuku sudah siap menunggu di depan gedung, juga ditemani oleh rintik hujan yang turun tanpa diundang. 

Beranjak dari tempat dudukku untuk berpamitan dengan Jisung, aku mulai merasakan ketidaknyamanan lagi dan segera memanggil, "Jisung-ah.."

Jisung yang sedang menenggak minuman kaleng yang dibelinya dari vending machine di lobby dorm menoleh ke arahku tanpa merasa terganggu sedikit pun, "Ne?"

Menyadari bahwa dia tidak merasakan hal yang sama denganku, aku berpendapat bahwa akulah yang mungkin terlalu sensitif dan terlalu banyak berpikir. Dengan buru-buru aku berkata, "Tidak.. Maksudku.. Setelah ini, cepatlah masuk ke kamarmu."

Park Jisung awalnya menatapku dengan bingung, namun dengan segera mematuhi permintaanku, "Baiklah, semoga selamat sampai di rumah. Kerja bagus untuk hari ini!" Ia dengan lembut mengusap punggungku dan segera berjalan memasuki lift di pojok ruangan. Sedangkan aku dengan agak tergesa-gesa berjalan menerobos gerimis hujan menuju mobil ibuku.

Keluar dari lobby dorm, jantungku berdegup lebih cepat dan membuatku sedikit berlari ke arah mobil. Tidak begitu memperhatikan jalan di depan, aku tak sengaja tergelincir beberapa langkah di depan mobil dan kaki kananku terantuk pintunya. Kesialanku belum selesai karena saat itu, hujan deras segera mengguyur tubuhku dan membuat make up yang belum dihapus dari wajahku menjadi luntur tak karuan. Meskipun tak melirik ke arah kursi pengemudi, aku bisa mendengar jeritan keras ibuku yang kaget melihat kecerobohanku.

Pasti beliau lupa membawa payung.. Itulah pemikiranku yang akurat karena ibuku tidak segera keluar untuk membantuku dan justru membuka kaca mobil selebar-lebarnya serta bertanya, "Apa kau baik-baik saja?" Kala itu, tentu saja isi mobil segera diserbu derai hujan yang masuk melalui jendela tempat duduk ibuku.

Heaven and EarthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang