Fourteen

242 42 8
                                    

Kata orang, setiap mimpi kita bisa jadi nyata.

Apakah orang yang mengatakan itu sadar kalau kita juga akan mengalami mimpi buruk?

Itulah yang aku renungkan sejak membuka mata keesokan harinya.

Hari ini: mimpi buruk yang jadi nyata.

Aku terbangun bahkan sebelum alarmku berbunyi sangking tidak nyenyaknya aku tidur. Percakapan dengan Jisung yang masih menggantung di pikiranku benar-benar mengganggu.

Aku menatap ke arah cermin kamar mandi dan mendapati mata panda yang semakin menghitam terlihat di wajahku.

It couldn't get any worse..

Untuk pertama kali sejak aku mengenalnya, Jisung benar-benar mengabaikanku – atau bahkan menghindariku – hari ini.

Awalnya, aku kira itu hanya prasangka burukku (karena pikiranku yang sedang carut-marut).

Dugaanku berawal saat kami nyaris bertatapan, aku ingin keluar dari kamar mandi dan kulihat dia sedang berjalan menuju arahku.

Aku bahkan sempat hendak memanggil, "Jisu–"

Namun, detik-detik setelah mata kami tak sengaja bertemu, dia segera berbalik dan seakan-akan tidak lagi berniat untuk ke kamar mandi.

Aku sadar bahwa dia sedang tidak bermain-main saat kami tidak bertukar pandang sama sekali saat persiapan perekaman self-documentary video.

Biasanya kalau sedang persiapan, kami akan mengobrol tentang apa saja yang ada di pikiran kami. Merencanakan untuk makan mini pizza, pesan Malatang, atau bahkan menonton pertandingan Golden State Warriors hanya untuk menyaksikan performa Stephen Curry.

Khusus hari yang menyiksa ini, dia terus memosisikan diri di dekat Jaemin-hyung dan Renjun-hyung yang jelas-jelas tidak ingin diganggu obrolannya.

"Jisung-ah, kenapa kau terus-terusan mengikuti kami? Duduk, makan, dan diamlah!" Renjun-hyung mulai menyerukan keluhannya pada Jisung yang selalu ikut nimbrung padahal tidak diajak.

Jaemin-hyung yang menyadari betapa ambruk-nya atmosfer Dreamies saat itu (karena dari kemarin selalu dipenuh amarah) hanya membalas, "Ah, sudahlah. Kemarilah, Jisungie.. Aku maafkan kau karena kau bayi kami yang paling imut!"

Park Jisung mau tak mau tersenyum pongah, berlagak menunjukkan aegyo-nya yang tentu saja disambut ramah oleh aegyo king kami, yang adalah Jaemin-hyung itu sendiri.

Aku yang menguping percakapan mereka dari jauh tak kuasa membatin, aegyo-mu menyedihkan, Jisung-ah.

Aku pura-pura tak mendengar dengan memandang fokus handphone-ku yang sedang menayangkan video best moments of Stephen Curry.

Tentu saja aku tak benar-benar memperhatikannya karena mungkin sudah terhitung satu juta kali aku menontonnya. Ditambah lagi, tidak ada Jisung Pwark yang – biasanya – jadi pendengar setiaku sebagai komentator handal pertandingan NBA.

Di tengah-tengah video, tangan seseorang menepuk pundakku perlahan. Aku segera menoleh (dan sedikit kecewa karena itu bukan Jisung, haha) dan manager-nim tampak memandangku dengan khawatir.

Ia sedikit mendekatkan mulutnya ke telingaku, memastikan aku mendengar setiap kata yang hendak diucapkannya.

"Aku sudah mendengar semuanya dari Jeno," Ia berbisik, memperjelas setiap suku katanya hingga telingaku merasa geli karena tidak nyaman.

Heaven and EarthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang