Twenty One

267 45 10
                                    

Suka tidak suka, siap tidak siap, hari esok tetap akan datang.

Kami bangun pagi-pagi sekali, tepatnya pada pukul empat lebih tiga puluh menit.

Sebenarnya, sebagian besar member – termasuk aku – harus dibangunkan oleh manager-nim karena tidak kunjung beranjak dari tempat tidur masing-masing. 

Jeno-hyung adalah satu-satunya member yang tidak perlu dibangunkan.

Aku sempat ingin memuji-mujinya tapi berujung kecewa karena percakapan antara dia dengan Jaemin-hyung saat keduanya sedang berjalan menuju kamar mandi terdengar olehku yang baru saja melangkahkan kaki ke luar kamar.

"Kenapa kau bisa bangun cepat sekali? Bukankah kemarin kau tidur sangat larut karena game-mu yang tak kunjung selesai?" Tanya Jaemin-hyung yang beberapa menit lalu berhasil dipisahkan dari kasurnya.

"Kau tidak tahu seberapa mengantuknya aku sekarang," Jeno-hyung mengacak-acak rambutnya yang kecokelatan, "Aku memberitahu jadwal kita pada ibuku, alhasil beliau menelponku hingga sepuluh kali, padahal tadi jam handphone-ku baru menunjukkan pukul empat!"

Jaemin-hyung terlihat gemas dengan jawaban itu dan tak dapat menahan niat untuk merapikan rambut sahabatnya itu menggunakan jemarinya.

Walau sempat ragu karena terkesan kekanak-kanakan, Jeno-hyung akhirnya menurut. 

Ia menutup kedua matanya dan kelihatan pasrah ketika orang yang sudah berada di sampingnya sejak delapan yang tahun lalu itu menyentuh helai demi helai rambutnya.

Tidak hanya Jaemin-hyung yang merasa gemas, bahkan aku yang hanya melihat kedua hyung itu dari jauh sangat terhangatkan hatinya sekaligus terharu.

Bertahun-tahun telah kami habiskan bersama sejak usia yang masih tergolong muda.

Hal itu membuat kami menghargai satu sama lain, bahkan lebih dari sekadar sahabat dekat. 

Kenyamanan yang telah tercipta di antara kami membuat hubungan kami tidak ada kurangnya dari sebuah keluarga.

Bisa bertemu, berlatih, dan mengejar mimpi bersama mereka terasa seperti mendapatkan keluarga baru bagiku.

Sebaliknya pun juga begitu.

Bila aku kehilangan waktu untuk bersama mereka, aku juga akan kehilangan keluarga baruku, salah satu bagian terbesar dalam hidupku.




"Pagi, pagi, pagi!" Renjun-hyung tiba-tiba menyenggol bahu serta mengacak-acak rambutku, seolah aku ini adalah adiknya yang super bandel namun mau tak mau ia terima sebagai anggota keluarga.

"Aduh, pagi!" Seruku dengan kesal, juga heran karena setiap anggota 'keluarga' ini sangat hobi untuk mengagetkan orang lain.

Kemarin Jisung, sekarang Renjun-hyung.. Nanti siapa lagi?

Mendengar satu nama yang belum menampakkan batang hidungnya, aku menoleh ke kanan dan kiri dan belum juga terlihat sosok yang dimaksud.

Renjun-hyung yang memahami gerak-gerikku sontak tertawa, "Ah, kalian ini benar-benar tidak bisa dipisah ya."

Merasa malu ketika mendengar tanggapannya, aku berusaha menutup-nutupi, "Ini tidak seperti yang terlihat. Aku sedang tidak mencarinya, kok."

"Aaaa, banyak alasan kau ini," Renjun-hyung menunjuk ke arah kamar Jisung kemudian berkata, "Dia baru saja bangun dan masih mengumpulkan nyawanya di atas kasur. Masuklah dan suruhlah dia untuk cepat bersiap!"

Heaven and EarthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang