Sixteen

251 46 15
                                    

Aku tiba di dorm ketika hari sudah mulai gelap, tepatnya pada pukul tujuh malam.

Setelah aku memberikan susu cokelat untuk Jisung Pwark dan berlari menyusul para hyung, ternyata mereka sudah meninggalkanku!

Apakah mereka sama-sama berpikir kalau aku akan menemani Jisung hingga selesai latihan?

Hoho, memangnya aku pacarnya?

Lagipula, bukankah Jeno-hyung sendiri yang memberiku peringatan untuk bersabar dan memberikan maknae itu waktu merenung pribadi?

Memang, sih, dorm kami dapat ditempuh dengan berjalan kaki hanya dalam waktu 15 hingga 20 menit. Namun, tetap saja aku harus berjalan seperti atlet jalan cepat untuk menghindari paparazzi.

Ritme berjalanku semakin bertambah cepat ketika mengingat ancaman sasaeng yang – entah dari mana – mengetahui nomorku. Bisa saja sekarang dia sedang berkeliaran di dekat gedung SM atau bahkan di jalanan untuk memantauku, kan?

Mendekati pintu masuk, aku melangkahkan satu kaki sebagai pijakan dan segera berlari masuk ke dalam gedung dorm.

Jangan tanyakan bagaimana ekspresi si penjaga pintu masuk. Kalau aku boleh mendeskripsikan, dia terlihat seperti baru melihat casper yang sedang bermain kejar-kejaran.

Aku bertemu Jeno-hyung – si biang keladi – ketika melewati ruang tamu.

Tanpa berbasa-basi, tentu saja aku tak tahan berseru, "Hyung, kenapa kau malah meninggalkanku tadi?!"

Selama perjalanan dalam lift ke lantai atas, aku sudah mengatur napas dan mengelap seluruh tetesan peluh sehingga tidak ada member yang bisa curiga dengan sikapku (kecuali kalau si penjaga pintu masuk tiba-tiba menginterogasi).

"Ahahaha," Seperti biasa, setiap guyonan member selalu ia tanggapi dengan eye smile seekor anjing samoyed.

"Aku pikir kalian berdua akan mengobrol panjang lebar dan kami sudah terlalu lelah!" Jawabnya – dengan alasan tambahan – yang sesuai dengan apa yang kupikirkan. Tapi..

"Tapi bukannya hyung yang bilang kalau dia butuh waktu sendiri? Masa aku akan berlama-lama mengganggunya?"

Aku pura-pura memasang ekspresi kesal, tapi justru membuat Jeno-hyung gemas dan spontan mencubit pipiku yang sedikit tirus daripada bulan-bulan sebelumnya.

Oh, iya. Aku lupa kalau bagi Jeno-hyung, aku hanyalah seekor anak ayam..

"Uhh, 귀요미 (gwiyomi)~!" Kata-kata penghiburannya sama sekali tidak ditempatkan pada saat yang tepat.

"Aku pikir kehadiranmu bisa membuat dia berubah pikiran seratus delapan puluh derajat," Jeno-hyung kini mengelus-elus bagian pipiku yang memerah akibat cubitannya tadi.

Perlu diingat sekali lagi bahwa tangan Jeno-hyung hanya terdiri dari otot, beda dari tangan manusia biasa.

"Maksud hyung, kalau aku datang ke sana, aku bisa menyadarkan dia, membuat kami mengakui kesalahan masing-masing, dan akhirnya berdamai dengan mudahnya? Begitu?"

Aku masih mempertahankan ekspresi kesalku ketika berceloteh seperti ibu-ibu yang sedang bergosip saat sedang arisan.

Jeno-hyung terkikik lembut sebelum menjawab, "Ya, setidaknya itu yang kupikirkan – atau yang kami pikirkan."

Aku sedang menghela napas panjang ketika dia menambahkan, "Mungkin sebenarnya dia tidak butuh waktu merenung untuk berdamai dengan kenyataan, tapi mungkin dia hanya butuh kamu."

Heaven and EarthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang