Ten

299 52 7
                                    

"Apa?"

"Sasaeng, Jisung! Kupikir kau memperhatikan setiap kata yang aku ucapkan!" Seruku berdiri persis di depannya.

Aku membuka mulut, siap untuk mengulang semua inti masalah yang sudah kuungkap tapi segera disanggah olehnya, "BUKAN BEGITU! Maksudku, apakah kau betul-betul sedang mengalaminya?"

Di luar dugaanku, kedua tangannya berpegang erat pada kedua sisi pundakku, seakan memohon konfirmasi – atau sanggahan – dari ucapanku.

Aku kehabisan kata-kata dan hanya bisa mengangguk.

Untuk sejenak, aku merasa enggan untuk melanjutkan perbincangan. Harusnya aku lebih peka kalau Jisung merupakan orang yang mudah mencemaskan orang lain.

Perkara kecil seperti Jeno-hyung yang tersandung kakinya saat konser (dan tidak menimbulkan cidera apapun) saja jadi besar dibuatnya.

Aku rasa dia meminta maaf sekitar 1000 kali pada Jeno-hyung, baik saat maupun setelah konser berakhir.

Aku merasa bersalah tapi juga tak punya pilihan lain, dia orang terdekatku saat ini.

"Jisung-ah, mungkin kau akan menganggap ini sebagai hal remeh, tapi.."

Park Jisung segera menyela dengan tatapan yang menurutku aneh, "Oh, TIDAK! Tidak mungkin.."

Ekspresinya pantas kusebut aneh karena dia benar-benar menyipitkan matanya yang sudah kecil. Sepasang matanya berubah menjadi dua garis lurus yang terpisah oleh batang hidungnya. Terlebih lagi, dia tidak begitu membuka mulutnya saat berbicara.

Ia melanjutkan, "Aku sangat ingin mendengar cerita lengkapnya darimu. Ketahuilah, aku benar-benar, sangat ingin tahu!" Kali ini, ia mengepalkan salah satu tangan dan memukul-mukulkannya di dada berkali-kali.

Tindakannya itu seolah mengatakan, ini aku! Dan apa yang kukatakan dari mulutku adalah kebenaran, jadi tolong percayalah padaku!

"Meskipun begitu, aku pikir kau harus memberitahu ini di hadapan para hyung juga. Mereka lebih berpengalaman dari kau dan aku. Mereka bisa memberi solusi yang bahkan mungkin tak pernah terbesit di pikiranku, Chenle-ya."

Penolakan halus Jisung membuatku tersenyum simpul. Kedua pipinya yang menggembung serta telinganya yang merona memang tidak sanggup berbohong.

Aku paham kalau dia sangatlah khawatir serta ingin agar masalahku ini dapat terselesaikan dengan segera dan adil tentunya.

Inilah satu-satunya balasan yang terpikirkan, "Jisung-ah, sejujurnya aku tak ingin kau memberikan solusi apapun untukku. Tidak, bukan karena kau jelas-jelas lebih muda dariku. Aku hanya ingin kau mendengar kisahku."

Beragam ekspresi yang ditunjukkan Jisung seperti meyakinkanku kalau seandainya kasus ini dibawa ke depan meja hijau, dia dengan segenap hati akan membelaku habis-habisan. Astaga, bayangan ini betul-betul membuatku geli!

"Tapi, baiklah. Aku akui kalau apa yang kau katakan tadi memang benar, Jisung-ssi!"

Singkat cerita, aku menyetujui sarannya dan kami sepakat untuk melanjutkan 'hukuman' kami untuk membelikan minuman para hyung dari vending machine sebelum berbicara detail mengenai masalahku bersama-sama.

Letak vending machine yang dekat dengan pintu masuk kaca gedung SM ini membuatku sedikit khawatir.

Saat pintu lift baru terbuka, aku mulai berjalan sedikit cepat, berniat menyelesaikan 'hukuman' ini dan segera kembali ke ruang latihan.

Memandang pintu kaca sekilas, aku tidak melihat ada seorang pun berdiri di sana. Namun, keteganganku tetap tak mau sirna. Sasaeng seakan memiliki 'tatapan yang tidak terlihat'. Aku – atau kami – sekarang ini tidak melihat seorang pun, tapi para sasaeng tahu posisi bahkan segala tingkah laku kita.

Heaven and EarthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang