Thirteen (I)

266 43 5
                                    

"Five.. Six.. Seven.. Miss again!" 

Seorang pelatih berteriak sambil memandang keenam member Dreamies dengan fokus persis di depan cermin yang mengelilingi seluruh ruangan.

Parasnya yang kaku, matanya yang serius nyaris melotot, serta kedua tangannya yang senantiasa berkacak pinggang menunjukkan bahwa latihan kali ini bukan latihan yang main-main.

Mulai hari ini, latihan akan urut dengan set list yang sudah dipersiapkan. Lengkap, tanpa play memory. Dengan ini, kami semua akan terbiasa dengan momentum dan suasana saat konser berlangsung.

Sepuluh hari menuju The Dream Show harus kami manfaat sebaik-baiknya.

Berlatih, berlatih, dan berlatih.

Fokus, fokus, dan fokus.

"ZHONG CHENLE, FOKUS!" Pelatih kembali berteriak sambil melakukan gestur 'gunakanlah pikiranmu' dengan mengacungkan telunjuk pada kepalanya beberapa kali.

Kondisi mentalku yang sedang tidak baik-baik saja berpengaruh terhadap kestabilan fisikku.

Badanku seakan-akan lemas, kelincahanku berkurang, dan yang paling parah yaitu aku seperti tidak memiliki tenaga sama sekali hingga akhirnya melewatkan beberapa beat dari lagu yang akan kami tampilkan.

"I keep messing up my tempo.." Keluhku dengan napas tak beraturan.

Aku berjalan ke arah tempat botol-botol minum kami ditata berjajar rapi. Kuambil botol air mineral sekali pakai yang kubawa dari rumah dan sisa airnya langsung kutenggak tak bersisa.

Aneh.. Aku bisa merasakan bahwa aku memiliki banyak tenaga yang tersimpan di dalam tubuh. Namun entah mengapa, pengeluarannya terhalang oleh pikiranku yang sedang carut-marut.

Oh, ayolah! Kau bilang ini (mungkin) konser terakhirmu! Masa cuma ini yang bisa kau berikan?

Mulai merasa kesal pada diri sendiri, aku secara tidak sengaja meremukkan kemasan air mineral hingga tak mampu dideskripsikan lagi sebagai sebuah botol.

"Chenle-ya."

Sebuah suara familiar mengalihkan perhatianku. Suara yang sejujurnya sudah sejak kemarin aku rindukan.

"Y-ya?" Jawabku dengan suara serak.

Jisung mengisyaratkan tanda-tanda keprihatinan pada wajahnya, "Apa kau baik-baik saja?"

Anak kecil yang belum paham emosi pun tidak akan tega melihatnya cemas.. Pikirku sembari menjawab, "Ya, tentu. Tidak ada yang salah denganku! Kenapa kau –"

"Maaf, kali ini aku tidak sudi untuk percaya," Jisung segera memotong perkataanku, "Lihatlah wajahmu. Kau bahkan terlihat lebih 'buruk' dari hari sebelum kita libur!"

Aku terdiam dan membatin, bagaimana dia bisa tahu?

Tadi pagi, persis setelah aku terbangun dari mimpiku untuk mandi, kulihat kedua mataku sangat bengkak dan kantung mataku sudah seperti bayangan tengah malam. Gelapnya sudah tak tertandingi.

Rasa-rasanya aku ingin mengumpat saat itu. Padahal jam tidurku sama sekali tidak kurang, padahal rasanya aku sudah memejamkan mata lebih dari yang semestinya.

Namun, kemudian, aku menyadari bahwa hanya fisikku saja yang beristirahat. Pikiran dan mentalku terus bekerja, terus memendam masalah, dan sebagai hasilnya, hanya tubuhku yang lelahnya terpulihkan.

Aku yang tampak tak bersemangat dan aku yang kelihatan lebih tidak nyaman daripada saat sebelum hari libur.

Hanya Park Jisung yang menyadari semua ini.

Heaven and EarthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang