Two (II)

602 82 1
                                    


Masa kecilku sedikit berbeda dengan anak-anak lain. Ketika anak-anak lain hanya fokus bersekolah, orang tuaku sudah mengarahkanku untuk mengejar passion-ku sejak kecil. Suatu ketika, aku mengatakan pada mereka bahwa aku ingin mencoba bernyanyi karena aku sangat menikmati alunan musik. 

Sejak saat itu, hidupku sedikit demi sedikit berubah. Keseharianku tidak hanya diisi dengan sekolah, tapi aku juga berlatih privat bersama guru vokalku hingga larut. Ikut audisi China's Got Talent saat masih berusia 9 tahun, melakukan konser solo yang bersifat amal, menjadi juri termuda di suatu kontes menyanyi, dan masih banyak lagi. 

Jika dipikir-pikir memang terkesan sangat melelahkan dan seakan-akan aku dipaksa untuk membanting tulang. Namun, aku tidak merasa terpaksa sama sekali. Sebaliknya, aku justru menikmati setiap hal yang aku lakukan. 

Mungkin hal inilah yang membuat ayahku tidak ragu untuk mengikuti audisi di perusahaan keartisan milik temannya.

Di suatu sudut hatiku, aku merasa bersalah karena tidak memberitahu bahwa keinginanku untuk ke Korea hanya untuk bertemu anak itu. Keinginan seorang anak kecil yang tak mengira bahwa perwujudannya akan menjadi sebesar sekarang. 

Namun, sepertinya keinginan hatiku lebih meluap-luap daripada ketakutanku bila memang aku akan diprotes karena rela mengambil risiko demi bertemu seseorang yang mungkin saja tidak mengingatku.

Tak terasa dua bulan berlalu sejak tawaran ayahku dan akhirnya aku bersama ibuku berangkat ke Korea Selatan untuk mengikuti audisi. Kondisi gedung perusahaan yang sepi membuatku bertanya-tanya apakah memang benar diadakan audisi atau tidak. 

Sekarang ini, aku paham bahwa kesempatan tersebut disebut sebagai audisi tertutup.

Diantar ibuku sampai tepat di depan ruangan berkaca, aku dapat melihat meja panjang yang ditempati oleh tiga orang berpakaian formal. 

Berpengalaman mengikuti audisi, aku langsung mengetahui bahwa ketiga orang tersebut merupakan juri-juriku.

Ternyata, kedatangan kami telah ditunggu oleh salah satu staff perempuan berpakaian hitam. 

Aku spontan bertanya padanya karena tidak terdapat antrian, "Apakah aku boleh masuk sekarang?"

Tersirat ekspresi terkejut dari staff tersebut, apakah dia kaget karena aku seakan sudah mandiri atau dia mengolok-olok karena aku terlalu percaya diri? 

Apapun itu, aku hanya tidak ingin membuang-buang waktuku. Staff tersebut kemudian berkata, "Baik, silakan masuk."

Satu hal lagi yang aku pahami dari kejadian itu yaitu tidak terencananya audisi tersebut. Audisi yang profesional akan menyediakan minus one atau musik seperti karaoke atau bahkan pengiring profesional demi maksimalnya penampilan peserta. 

Namun kali ini, aku harus bisa bernyanyi tanpa musik apapun sehingga teknik yang kugunakan harus benar-benar tepat.

"下午好(Xiàwŭ hăo)," Aku mengucapkan 'selamat siang' menggunakan bahasa yang kutahu, bahasa Mandarin.

"안녕하세요(Annyeonghaseyo)," Sebuah suara yang tak berasal dari juri manapun terdengar dari sampingku. Tak terduga, ternyata mereka menyediakan penerjemah bahasa Mandarin menjadi bahasa Korea.

Mendapat sapaanku, ketiga juri hanya mengangguk dan tersenyum sejenak, lalu kembali memasang wajah datar dan tegas kembali ke arahku. 

"Baik, silakan," Salah seorang juri yang duduk di tengah berbicara dan aku segera menoleh ke arah si penerjemah dengan linglung.

"Silakan mulai bernyanyi sekarang," Ucap si penerjemah. Ah, ternyata mereka menyuruhku untuk segera bernyanyi. Mungkin karena mereka memiliki jadwal padat yang harus ditangani dan jadwalku ini hanya sebongkah pengganggu dari rutinitas tersebut.

Dengan latar ruangan berupa langit berawan putih dan tanpa pengiring, aku menyanyikan lagu 龙月情缘 (El Romance del Dragón). Audisi yang membosankan (menurutku, haha) ini berlangsung selama tiga menit, bahkan kurang.

Selesai bernyanyi, ketiga juri tidak menunjukkan paras kecewa maupun terkejut, ketiganya hanya menatap datar. 

"Kami akan berdiskusi sebentar," Seorang juri yang duduk di pinggir kanan akhirnya berbicara dengan bahasanya dan si penerjemah segera melakukan tugasnya. 

Aku mengatupkan kedua tangan di depan dada, menunggu keputusan dengan sabar. Wah, mereka akan berdiskusi tepat di depanku dan langsung mengambil keputusan!

Obrolan serius di antara ketiga juri hanya berlangsung lima menit hingga salah satunya berbalik dan menatapku dengan senyum yang aneh, katanya, "Baik, kami sudah mengambil keputusan yang agak berisiko." 

Setelah penerjemah berbicara padaku, juri lain melengkapi pernyataan barusan dengan, "Baik, apakah kamu siap bekerja untuk SM Entertainment?"

Aku benar-benar kehabisan kata saat penerjemah telah mengartikan pertanyaan tersebut. 

Astaga, aku tidak bermaksud untuk benar-benar mengikuti jejak anak itu! 

Jika saja ibuku tidak terlanjur berteriak dengan gembira atas penerimaanku, maka aku akan menjawab, 'Oh, maaf. Sepertinya saya salah perusahaan'. 

Namun tentu saja itu tidak terjadi dan aku justru berkata, "Baik, aku siap! 谢谢 (Xiè xie)!" Kemudian tak lupa untuk membungkuk sopan.

Berjalan ke luar ruangan, aku masih kaget dengan apa yang baru saja dan akan kuhadapi. 

Aku merasa bersalah sekaligus bersemangat untuk memulai karier sekaligus bertemu dengan seseorang yang benar-benar ingin kutemui.

Kalau dipikir lagi, segala hal yang kulalui sejak bertemu Park Jisung selalu penuh dengan kejutan. 

Mulai dari kami yang awalnya tidak saling mengenal karena berasal dari kebudayaan yang berbeda sampai akhirnya melupakan formalitas serta perbedaan usia hingga menjadi sahabat dalam suka maupun duka. 

Yah, meskipun sebenarnya aku mengharapkan lebih.

Heaven and EarthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang