❝REL, gue boleh nanya soal hal pribadi lo, gak?" Keenan mengambil tempat di tepian tempat tidur Karel, dengan rambut yang masih basah baru selesai mandi dan handuk yang di atas bahunya.
"Apaan?" tanya Karel dengan tangan yang sibuk menulis sesuatu yang Keenan tak tau apa itu. Barangkali, PR.
"Lo masih sama Louisa?"
Karel yang semula tampak ogah-ogahan mengobrol karena sibuk dengan kesibukannya sendiri, spontan menoleh ke arah Keenan.
"Kenapa lo tiba-tiba nanya itu?" tanya Karel. "Hubungan gue sama dia lagi ga jelas."
"Tapi, lo masih sayang, kan?" tanya Keenan.
"You know the answer," jawab Karel. "Lagian, risiko LDR, ya gini. Kalau gue sayang, gue harus tahan."
"Nice to know," Keenan bangkit dari duduknya, berjalan menuju sofa berwarna biru yang ada di depan TV di kamar Karel. "Tetangga kita suka sama lo."
Karel lagi-lagi menoleh. "Pardon?"
"Hana suka sama lo," ulang Keenan, menghidupkan saluran TV. "Need more repetition?"
"Are you kidding me?" Karel menyeringai. "Gue sama dia itu udah kenal lama banget, sejak SD."
"Gak menutup kemungkinan kalau dia bisa suka sama lo, kan? Meskipun kalian udah kenal lama," balas Keenan. "Lagian, keliatan banget."
"Terlalu banyak yang suka sama gue, makanya gue sampe gak sadar," kekeh Karel. "Tapi, cewek se-perfect Hana kenapa harus suka sama gue?"
"Because you both are perfect," jawab Keenan. "Emangnya banyak yang suka sama dia?"
"Ya... dia emang cantik," Karel terdiam sejenak. "Dan secara visual, Louisa emang gak ada apa-apanya dibandingin dia."
Benar. Louisa, dengan kulit yang tropis, jauh sekali dari kriteria cantik dalam tipe visual Asia. Tapi, kalian harus tau betapa baik dan lemah lembutnya dia. Makanya, Karel tak pernah bisa meninggalkannya.
"Tapi… tetap aja. She's my neighbour, not my romantic interest."
***
"Ini udah bener belum, sih?" Hana mengoceh sendiri, dengan tangan yang berada di stir. Badannya sendiri sebenarnya sudah panas dingin keringatan, dan jantung yang deg-degan.
Karena mama dan papanya memang harus menetap di Malang selama beberapa bulan karena masalah bisnis, maka Hana disuruh bertanggung jawab atas antar-jemput adik laki-lakinya, Kevin.
Sebenarnya, sejak dulu sih, orang tua Hana selalu sibuk dan Hana selalu pergi dan pulang dengan Sam, sahabatnya sejak kecil, makanya dia tak pernah tertarik untuk belajar mengemudi. Tapi, dia tak mungkin meminta bantuan untuk mengantar jemput Kevin kepada Sam, kan? Meski Sam pun pastinya kenal baik dengan Kevin.
"Lo-nya tenang, jangan panik. Ntar kalau nabrak, siapa yang mau disalahin?" Sam di seberang sana jadi geram sendiri, lantaran Hana tak bisa diam di sebelah sini.
"Ih, lo kenapa pakai marah-marah? Makanya lo jangan pergi ke Bandung. Kalau lo gak pergi kan, lo bisa ajarin gue sekarang," oceh Hana dengan nada tak suka.
"Hana… gue ke Bandung itu lomba. LOMBA," sahut Sam menekan kata lomba tersebut. "Ini bentar lagi giliran gue, lo gak usah bikin gue panik."
"Yaudah, tutup aja teleー"
BRAK!
Hana mendadak me-rem mobilnya usai mendapati suara yang cukup keras tersebut.
"Shit, gue nabrak orang," umpat Hana buru-buru keluar dari mobilnya.
Yaampun, Hana. Latihan di kompleks aja nabrak, apalagi di jalan raya. Apa gunanya kursus menyetir bulan lalu? Hana hanya bisa merutuki dirinya sendiri dalam hati.
"Lo… gapapa?" Hana menolong orang itu berdiri kesakitan, memegangi dengkulnya yang ditimpa oleh sepedanya. "Karel?"
"Menurut lo, gue Karel?" tanya lelaki itu menatap sengit.
"Oke, kembarannya Karel, uhmー Dinan?"
"Salah."
"Dimas?"
"Gak."
"Andi?"
"Gak."
"Ahmad?"
"Ini apaan, sih?" Keenan sedikit membentak. "Bantuin gue berdiri."
"Sori, gue gak sengaja. Gue tadinya latihan untuk memperlancar doang, sih," balas Hana membantu Keenan berdiri. "Gue bawa ke rumah sakit, ya?"
"Ke rumah sakit?" ulang Keenan mengernyitkan dahi. "Itu namanya menjemput ajal. Di kompleks aja lo nabrak, apalagi di jalan menuju rumah sakit."
Hana hanya bisa terdiam.
Keenan ikut terdiam sejenak. "Sori, ucapan gue terlalu kasar?"
"Gak," jawab Hana. "Yaudah, seenggaknya biar gue obatin luka lo dulu di rumah gue."
Usai menepikan sepeda Keenan dari jalanan kompleks, Hana mengantar Keenan menuju rumahnya dengan mobilnya; yang untung saja tidak menambah masalah apa-apa selama perjalanan.
"Kenapa rumah lo sepi banget?" tanya Keenan penasaran.
"Bokap nyokap gue lagi ada urusan di luar kota," jawab Hana.
"Rumah sebesar ini cuma lo tinggalin sendiri?" Keenan menyengir kuda. Pasalnya, rumah ini bahkan lebih besar daripada rumahnya; yang padahal, dia saja sudah cukup lengang karena baginya rumahnya sudah terlalu besar.
Apalagi bagi Hana, yang orang tuanya sedang di luar kota.
"Gak sendiri. Ada dua satpam sama dua orang ART juga," kata Hana. "Sama adek gue."
"Kakak kok pulang cepet?" Laki-laki berusia lima tahun yang awalnya sibuk menonton TV dari lantai atas, lantas menoleh ketika Hana dan Keenan yang baru saja duduk di atas sofa ruang tengah. "Sama… Kak Karel?"
"Tadi ada sedikit masalah," jawab Hana mengusap-usap kepala Kevin yang turun ke lantai bawah dan ikut duduk di sebelah Hana. "Dia bukan Karel."
Kevin yang semula memandang sinis ke arah Keenan, lantas mengubah tatapan menjadi tatapan penuh tanda tanya.
"Iya, dia bukan Karel, Vin. Dia…." Hana menggantungkan ucapannya, berpikir sejenak. Dia lupa siapa nama laki-laki di sebelahnya.
"Keenan," sambung Keenan duduk di atas sofa empuk berwarna abu-abu tersebut.
"Nah, ya. Jadi, kamu gak perlu pake wajah kesal gitu," kekeh Hana mulai membasuh luka Keenan. Jika saja Keenan mengenakan celana jeans panjang tadi, mungkin dia takkan sampai terluka begini. Paling-paling, hanya lebam, mengingat tabrakan Hana yang tak terlalu kuat; hanya lari 20.
"Kenapa emangnya?" tanya Keenan penasaran.
"Kevin gak suka sama Karel," jawab Hana. "Cuma gara-gara Karel pernah kasih dia snack udang, tapi Karel gak tau dia elergi udang."
Pft. Kenapa Keenan merasa sederajat lebih tinggi di atas Karel ya, setelah mendengar hal itu?
"Itu namanya gak sengaja, Alvin…" Keenan memberi jeda. "The Chipmunk," sambungnya.
"Kevin!" sanggah Kevin malu-malu, bersembunyi di balik tubuh kakaknya. Keenan tersenyum tertahan.
Oh, dia Tsundere?
"Itu acara TV yang kamu tonton… judulnya Little Einstein. ya?"
Kevin mengangguk, meski ragu-ragu.
"Aku juga dulu suka, makanya aku punya banyak banget DVD-nya," ucap Keenan. "Mau pinjem?"
Mata Kevin berbinar, mengangguk semangat.
"Besok kita nonton bareng, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever Yours
Teen FictionKeenan memutuskan untuk kembali ke Indonesia pada tahun terakhir masa SMA-nya, setelah bertahun-tahun menetap di negeri asal papanya. Di balik segala kelebihan dan sifatnya yang paling annoying di keluarga, dirinya menyimpan luka selama setahun lebi...