[15] Jepit Kupu-kupu

271 68 0
                                    

LAIN kali, lo gak usah ngelawan orang kayak gitu, deh," ujar Sam mengeringkan rambut Hana yang tengah duduk di kursi meja rias, menggunakan handuk. "Pada akhirnya, lo cuma bisa ngerepotin orang."

"Gue gak minta dibantuー"

"Tapi, kalau Keenan gak datang, lo tau gak, bakalan diapain sama itu orang?" potong Sam. "Lo mau jambak-jambakan di depan umum?"

"Ya, gak mau," jawab Hana merengut sebal. "Kenapa sih, lo tadi gak ada."

Sam terdiam sejenak, mencoba mencerna pertanyaan Hana barusan.

"Maksud lo?"

"Biasanya lo yang belain gue. Lo sengaja jauh-jauh biar gak bantuin gue, kan?"

Sam mengernyitkan dahinya. "Lo bicara apa, sih? Gue lagi nyalahin lo, kenapa lo malah nyalahin gue balik?"

"Han," Dhiva tiba-tiba membuka pintu kamar dari luar. "Yang lain udah pada ngumpul, tuh. Lo juga, Sam, yuk ngumpul."

Usai menyisir rambutnya, Hana dan Sam pun berlari menuju halaman cottage, memasuki kerumunan orang yang juga tengah sibuk menyusun posisi dan barisannya masing-masing.


***

Kini Hana berada di dalam bus dengan mata yang sayu mengantuk. Yang lain sedang sibuk makan malam di sebuah rumah makan, tapi Hana lebih memilih untuk tidak makan karena dia sudah tau bahwa takkan sesuai dengan selera makannya. Jadi, kini tinggallah dia dan Pak Sopirーyang tengah sibuk dengan hapenyaー di posisinya yang jauh di depan. Hana duduk di kursi paling belakang.

Tuk. Tuk.

Belum sampai satu menit Hana memejamkan matanya, langkah kaki seseorang yang baru saja menaiki bus menyita perhatiannya.

"Kok ada lo?" tanya Keenan menatap Hana yang tengah melipat kedua tangannya di depan dada, mencoba menyembunyikan telapak tangannya yang sudah kedinginan oleh AC bus.

"Berisik banget, sih. Gue tadi udah mau tidur," kata Hana berdecak sebal, menatap malas ke arah laki-laki yang memakai jaket berwarna hitam di hadapannya.

Keenan menahan tawa, kemudian mengambil posisi di kursi sebelah Hana. "Perasaan baru jam tujuh malem, udah ngantuk aja lo. Bentar lagi sholat isya, woy."

Hana tak menjawab lagi, memejamkan matanya dengan ekspresi sebal yang masih tertinggal.

"Makanya, kalau syaiton ngehasut tuh jangan didengerin. Ini malah ditemenin," tambah Keenan beralih ke macbook miliknya.

"Ini syaiton juga yang di sebelah gue," kata Hana memasang wajah datarnya. "Lo ngapain duduk di sebelah gue? Ntar orang yang lihat malah julid lagi."

"Bego banget mau dengerin apa kata orang," jawab Keenan.

"Eh, tukeran, dong. Gue yang di deket jendela," pinta Hana.

"Lah, padahal lo yang duluan duduk di situ," kata Keenan berdiri, kemudian berganti posisi dengan Hana. "Betewe, soal tadi…"

Hana yang semula memejamkan matanya, kembali membuka mata, menoleh ke arah Keenan, menunggu lanjutan ucapan lelaki tersebut.

"Karel yang kasih tau gue kalau lo lagi dilabrak di depan banyak orang," lanjut Keenan. "Kebetulan lo dilabrak karena gue. Yah, kalau bukan karena gue juga, gue tetep bantuin lo, sih."

"Bego banget," Hana terkekeh kecil. "Kenapa gak dia aja yang langsung dateng belain gue?"

"Itu anak mana ada nyalinya kalau soal begituan," kata Keenan dengan mata yang masih fokus ke layar macbook. "Sejak kecil juga, asal dia ada masalah sama orang, pasti gue yang tonjok-tonjokan sama tuh orang."

"Ya, bagus, deh," Hana menyandarkan kepalanya, kemudian memejamkan mata lagi. "Kalau dia yang bantuin gue, gue gak tau bakal dikemanain perasaan ini."

"Lama banget dah move on-nya," ujar Keenan tertawa. "Belum juga ngukir kenangan apa-apa, udah susah banget ngelupain dia."

"Iya. Bego banget, yak." Hana tertawa, dengan mata yang terpejam.

Hening kemudian. Keenan sibuk dengan macbook-nya dan Hana sibuk dengan rasa kantuknya.

Satu menit.

Lima menit.

Sepuluh menit.

Lima belas menit.

Beberapa kali, Keenan menoleh ke arah Hana sekilas. Jika dia memandangi Hana tidur dan tertangkap basah langsung oleh orangnya, bisa-bisa perempuan itu akan mengeluarkan suatu ucapan yang bisa menyebabkan perang mulut terjadi.

Lagipula, kalaupun ketahuan langsung oleh orangnya, Keenan takkan mengaku bahwa dia sedang memandangi Hana.

Beberapa helai rambut yang panjang tersebut menghalangi wajah Hana, membuat Keenan sendiri risih melihat beberapa helai rambut yang bandel tersebut.

Keenan membuka ritsleting tas selempang tersebut, kemudian meraih salah satu dari benda yang baru saja dia beli tadi. Tadi, dia sempat membeli oleh-oleh untuk Bianca, yaitu beberapa jepit rambut dan aksesoris feminim lainnya; karena adik bungsunya itu hobi sekali merias diri.

Yah, sebenarnya, Keenan melebihkan jepit rambutnya satu, tadi. Bermotif kupu-kupu berwarna putih dengan sayap berwarna pastel. Dia juga tak tau kenapa membeli itu.

Dia tak berencana untuk membeli jepit tersebut untuk Bianca, karena bahannya yang keras tak cocok untuk rambut Bianca yang masih cukup tipis dan halus sekali.

Tangan Keenan yang dua kali lipat lebih besar daripada tangan Hana tersebut terangkat, mencoba menepikan rambut yang menghalang wajah Hana. Untuk beberapa detik, memandangi wajah tersebut. Bulu mata yang panjang tersebut. Hidung yang mancung tersebut. Dan kulit yang putih pucat tersebut.

Tangannya yang lain kemudian menjepit rambut panjang milik perempuan itu dengan jepit kupu-kupu tersebut. Meski rambut itu sudah dijepit dan tidak menghalang wajah gadis yang memakai baju berwarna cokelat tua itu lagi, tapi Keenan tetap tak bisa melepaskan pandangannya.

Sebenarnya, ada apa dengan dirinya?

Forever YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang