[19] Louisa, Sahabat & Cinta, Panggilan Mendadak

262 66 0
                                    

UDAH, lo beli hape aja napa, sih? Gak bakalan dimakan lo sama tuh hape," ujar Karel dengan mata yang fokus ke layar TV, memangku setoples snack.

"Gue masih cinta macbook gue," sahut Keenan.

"Lah, apa hubungannya?"

"Ya, nanti perhatian gue ke macbook gue malah berkurang."

"Dih, apaan, sih. Merinding gue dengernya," kata Karel memegangi dirinya sembari bergidik. "Lagian orang bego mana yang jaman sekarang gak punya hape?"

"Lah, kenapa? Lo punya hape tapi gue perhatiin malah dibego-begoin sama tuh hape," ucap Keenan membaringkan kepalanya di pangkuan Bianca yang tengah sibuk menonton, sama dengan Karel.

Menonton Peppa Pig. Bayangkan orang seperti Karel masih mengikuti serial tersebut tanpa alpa sekali pun.

"Dibego-begoin gimana maksud lo?"

"Udah udah," ucap Keenan. "Gue gak usah masuk grup kelas."

"Tapi asal lo tau, ye, 50% berita kelas di-share lewat situ. Gak lucu kalau walikelas kalian mati mendadak dan beritanya di-share lewat grup, tapi lo justru gak tau."

"Astagfirullah, akhi," Keenan menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir dengan penuh dramatis. "Kamu ini bicara apa?"

"Astagfirullah," Karel menutup mulutnya dramatis. "Aku ini bicara apa, sih."

Benar-benar anak kembar yang kompak, bukan?

"Tapi, walikelas gue itu mukanya adem ayem banget, dah. Gue pikir bakalan dapet walikelas yang opah-opah."

"Kayak walikelas gue," tambah Karel. "Jalan aja udah sesek tapi masih aja ditaro jadi walikelas. Kasian banget walikelas gue. TU-nya gak ngerti kali ya, memposisikan guru mana yang pantes jadi walikelas."

"Tapi, gue denger-denger dari temen cowok gue di kelas, Bu Tati, walikelas lo itu, bukannya guru paling disiplin di sekolah? Karena itu, kali. Makanya dia masih dikasih tugas buat jadi walas," ucap Keenan mencomot snack yang ada di dalam toples yang tengah Karel pangku.

"Ya walaupun disiplin, tapi kalau jalan dari kantor guru ke kelas aja udah capek, gimana? Harusnya ngertiin Bu Tati juga, ah," ucap Karel. "Lagian, Bu Tati jalan aja udah kayak gitu, gimana kalau naik tangga, ya? Jantungan bisa kali, ya? Ya Allah, gue gak mau ikut-ikutan kalau hidupnya berakhir cuma karena naik tangga."

Keenan hanya terdiam, menatap langit-langit ruang tengah ini dengan tatapan kosong, tak membalas lagi ucapan Karel. Lagipula, kok mereka bisa menggibah sejauh ini? Sejak ke Indonesia ini, sepertinya dosanya malah jauh bertambah karena serumah dengan Karel. Suatu keseruan memang, bisa menggibah dengan saudara sendiri.

Serunya sekarang, mampusnya besok, di akhirat.

"Keen."

Keenan menoleh ke arah Karel yang barusan memanggilnya. Ekspresinya tak seperti ekspresi yang biasa dia pasang jika berbicara dengan Keenan. Kali ini, dia memasang ekspresi datar yang membuat Keenan langsung mengerti, bahwa mungkin kembarannya itu ingin membicarakan sesuatu yang serius.

"Louisa minta gue buat jauhin dia," ujar Karel kemudian.

Keenan mengernyitkan dahinya. Jauhin? Dalam artian apa?

"Lo udah putus sama dia?" tanya Keenan.

"Dia yang minta," jawab Karel. "Gue gak bisa apa-apa. Sesayang apapun, gue gak mungkin maksain dia buat tetep stay, kan?"

Keenan mengerti apa yang Karel rasakan. Keenan juga mengerti apa yang Louisa rasakan. Keduanya masih saling menyayangi, tapi ego masih terlalu besar. Lagipula, menepikan ego tak semudah yang dikatakan.

"Terus?"

"I'm done," ucap Karel bangkit dari duduknya. "Lagian, gue juga udah capek."

LDR bukanlah hal yang mudah untuk Karel lalui. Meskipun begitu, lelaki itu bahkan tak punya niat sedikitpun untuk mengkhianati hubungannya dengan Louisa.

Louisa adalah sahabat Karel sejak kecil, rumahnya berhadapan dengan rumah nenek dan kakek mereka di Oxford, Inggris. Keenan juga berteman dengan Louisa, tapi tak sedekat hubungan Karel dan Louisa.

Perempuan itu bahkan tak terlalu cantik. Yah, dia cantik, sih, tapi bukan definisi 'cantik' untuk orang Indonesia yang menyukai wanita berkulit terang. Kulitnya sedikit gelap dan eksotik, matanya cokelat, dan rambutnya ikal.

Mencintai sahabatmu sendiri bisa membuatmu kehilangan sahabat sekaligus orang yang kamu cintai, jika hubungan kalian gagal. Itulah yang pernah penulis Indonesia favorit Keenan, Raditya Dika, katakan dan mungkin itulah yang kini Karel rasakan.

"Jatuh cinta sama sahabat sendiri ternyata berat banget, ya," ujar Keenan menghela napasnya. "Untung gue gak punya yang kaya begituan."

Setelah bertahun-tahun bersama dengan Louisa, bagaimana cara Karel move on nanti, ya?

"Dalam persahabatan antara cowok dan cewek pasti bakalan ada yang jatuh cinta. Boong banget kalau nggak," tambah Karel.

Hm.

Omong-omong, bukannya posisi Hana dan Sam juga sama dengan Karel dan Louisa? Apakah salah satu dari mereka berdua tidak memiliki ketertarikan?

"Kenapa lo bilang boong banget kalau nggak? Bisa jadi emang nggak, kan?" kata Keenan berlalu, berjalan menuju kamarnya.

"Ya, bisa. Tapi diibaratkan dari satu sampai sepuluh, mungkin cuma satu."

Keenan hanya terdiam, sudah malas merespon ucapan Karel.

Drrt. Drrt.

"Halo?" Karel mengangkat teleponnya. Keenan yang masih sibuk berbaring di sebelah Bianca, lantas menoleh sekilas karena penasaran dengan siapa yang menelepon selarut ini.

Pukul 00.10 AM. Kenapa Karel, Keenan, dan Bianca belum tidur? Karena sudah menjadi kebiasaan. Mama dan Papa mereka saja masih sibuk mengobrol di meja makan. Normalnya, mereka tidur dari jam dua belas ke atas.

"Loh, Hana? Ngapain? Larut malem gini."

Keenan mengernyitkan dahinya.

Hana?

"Woy," Karel menyodorkan hapenya ke arah Keenan. "Hana pengen bicara sama lo."

Forever YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang