STUDY tour yang dijadwalkan untuk tiga hari tersebut cukup menguras kesabaran bagi Hana, akibat anak-anak dari Saint Meyer yang terkesan seperti memojokkan sekolahnya tadi. Bahkan dalam keterlambatan keberangkatan pun, anak Saint Meyer malah menyalahkan anak-anak dari sekolah Hana untuk hal itu.
Lebih tepatnya, yang menyebalkan itu adalah murid-murid perempuan.
Tapi memang benar, anak-anak dari sekolah Hana lebih lalai soal waktu. Malahan, ada yang telat 30 menit. Tapi, bukan berarti anak-anak Saint Meyer tepat waktu semua. Sebagian dari mereka juga terlambat, jadi tak seharusnya mereka menyalahkan orang lain selama salah satu dari mereka juga melakukan hal yang sama.
Tampaknya, sekolah yang notabenenya sekolah tertinggi di Jakarta itu memang menyebalkan. Bagaimana cara Sam bisa bertahan di sekolah tersebut, ya?
Pak Radja sudah menyewa beberapa cottage berderet yang satunya memiliki sepuluh kamar. Satu kamarnya memiliki dua double bed, sehingga satu kamar bisa diisi oleh tiga sampai lima orang. Jadi, hari ini, mereka hanya perlu beristirahat, karena proses pembelajaran atau obsevasi dilakukan besok.
Hana pun langsung tertidur setibanya di kamar cottage. Mengingat bahwa perjalanan mereka adalah enam jam dan di luar pun sedang hujan, dia jadi kelelahan dan cepat mengantuk.
Untungnya, karena Melda dan Quin sibuk ngebucin dan Selly ikut Pak Radja untuk mengurus absen siswaーSelly adalah murid kesayangannyaーmaka dia di kamar hanya bersama Dhiva yang sifatnya tak terlalu jahil, jadi dia tak takut untuk difoto ketika tidur.
Lagipula, di antara semuanya, dia paling dekat dengan Dhiva. Selain mereka sekelas, tempat curhatnya adalah Dhiva dan tempat curhat Dhiva adalah Hana.
"Heh, bangun."
Hana membuka matanya, menjumpai laki-laki yang mengenakan jaket berwarna hitam tersebut tengah mengguncang tubuh Hana untuk membangunkan gadis tersebut.
"Sam," Hana menetralkan pandangannya, kemudian duduk. "Lo ngapain di sini?"
Sam memandang Hana dengan mata dinginnya dan wajah tanpa ekspresi, kemudian menunjuk tas di samping tempat tidur. "Tuh, tas yang tadi pagi lo titipin ke gue. Kalau gak gue anter ke sini, lo gak bakalan jemput juga, kan?"
Hana hanya cengengesan.
"Oh ya, kalau lo ada keperluan, gue ada di cottage paling ujung, kamar nomor 7," sahut Sam bangkit dari duduknya, kemudian berjalan keluar kamar. "Kalau otak dodol lo ga inget, lo bisa tanya sama guru pembimbing sekolah gue, kamarnya yang paling di depan."
Hana hanya merengut sebal. Tentu saja dia bisa ingat!
Hana meraih tas berwarna pastel yang baru saja Sam antar tersebut, yang sebenarnya berisi charger hape, peralatan mandi, skincare, dan barang-barang pelengkap lainnya.
Lho?
Hana menyengir kuda, sembari meraih mi instan cup dan snack keripik kentang kesukaannya dari dalam tas.
'Lain kali gak usah pilih-pilih makanan ya, bego,' tulis Sam di depan makanan tersebut dengan ukuran besar, membuat Hana paham sekali, bahwa lelaki itu menuliskannya diiringi suasana hati yang sebal.
Hana memang tipe orang yang paling tak bisa makan makanan lain kecuali makanan dari rumahnya. Hal ini disebabkan suatu trauma sewaktu SD dulu, dan Sam paham betul akan hal itu. Itulah kenapa, biasanya, asal bepergian, dia selalu menyetok mi instan di dalam tasnya.
Kemarin, karena di luar hujan terus, maka dia tak sempat membeli makanan untuk dibawa pergi. Lagipula, Sam tau darimana, ya?
"Gila gila, Sam ganteng banget, asuuu," pekik Dhiva tertahan mengambil tempat di tepian kasur berseprei krem tersebut. "Perasaan baru berapa bulanan gak ketemu, kok jadiー"
"Iya, iya," Hana mangut-mangut dengan malas. "Inget, lo udah dijodohin sama Bang Juned. Gak boleh pindah hati."
Dhiva menggembungkan pipinya sebal, kemudian meletakkan telunjuknya di depan bibir, mengisyaratkan untuk diam.
Benar sekali. Dhiva dan Bang Juned, Ketua OSIS tahun lalu, sudah dijodohkan oleh orang tua mereka dan Dhiva hanya memberitahu Hana akan hal itu, soalnya, dia paham betul tabiat sahabat-sahabatnya yang bermulut baskom. Hanya Hana-lah yang aman untuk dijadikan tempat curhat mengenai hal itu.
Lagipula, Bang Juned itu dikenal di sekolah karena kepintarannya dan wajahnya pun manis. Maka dari itu, Dhiva tak masalah jika harus dijodohkan dengan Bang Juned, meski sampai sekarang belum pacaran, sih.
Sejak dulu, Dhiva selalu suka laki-laki pintar. Hal itu berlaku sah-sah saja karena dirinya sendiri masuk ke dalam kelas 12 IPA unggul, sama seperti Hana. Daripada tampan, dia akan memilih kepintaran sebagai syarat nomor satu dalam memilih pasangan.
Kalian tau kenapa Dhiva memuji Sam? Karena Sam pintar dan tampan. Jika Sam hanya tampan dan tak pintar, dia takkan memuji Sam sampai segitunya. Jadi, ketika seorang laki-laki itu pintar, aura dan ketampanannya akan bertambah 5 kali lipat, kata Dhiva.
"Lho, mi instan cup?" tanya Dhiva meraih makanan tersebut dari tangan Hana. "Tadi di bus bukannya lo ngeluh karena gak sempet beli ini, Han?"
"Iya."
"Terus, kok Sam tau? Dia denger pembicaraan kita?" tanya Dhiva lagi mengernyitkan dahinya. "Gila kali, ye. Kita sama dia aja beda bus."
"Gue adalah dia," Hana tersenyum ringan. "Dan dia adalah gue. Maybe that's why."
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever Yours
Teen FictionKeenan memutuskan untuk kembali ke Indonesia pada tahun terakhir masa SMA-nya, setelah bertahun-tahun menetap di negeri asal papanya. Di balik segala kelebihan dan sifatnya yang paling annoying di keluarga, dirinya menyimpan luka selama setahun lebi...