[17] Kenangan, Dreamcatcher, Biru Muda

266 63 0
                                    

HAMBURGER is the best thing in the world, right?" Perempuan berambut blonde sebahu tersebut tersenyum lebar, kemudian menggigit hamburger yang kini dia pegang dengan kedua tangannya.

"Really?" tanya Keenan menopang dagunya, memperhatikan perempuan di hadapannya menikmati makanan yang menjadi kesukaannya tersebut.

Langit sangat cerah. Tak mendung, namun tak panas. Suasana di depan Bakery Cooke, yang menjadi tempat favoritnya dengan Vanessa, memang menjadi suasana terbaik di dunia ini baginya, dengan bau harum roti-roti yang baru saja dipanggang dan angin sepoi-sepoi yang menyejukkan hati dan pikiran.

"No," Vanessa menatap mata Keenan lama, kemudian menyodorkan hamburgernya ke Keenan, sampai lelaki itu mengambil satu gigitan. "You are my best thing."

Keenan tersentak dari tidurnya, terduduk dari baringnya dengan mata yang sudah basah oleh air mata. Degup jantungnya tak beraturan, jakunnya naik turun menahan rasa takut, cemas, dan sedih yang bercampur aduk menjadi satu di dalam dadanya.

"No, you lied," Keenan memegangi dahinya. "You lied, Vanessa. You lied. You lied. You lied."

Air mata tersebut mengalir begitu saja. Dia tak mengerti dengan rasa yang berkecamuk di dalam dadanya. Jemari tangan kirinya menutup matanya.

"Please, stop," Keenan bergumam, meremas bajunya seakan menahan rasa sakit di dadanya. "Please, Vanessa..."

Bahkan kenangan yang indah tersebut menjadi mimpi buruk baginya. Diselubungi rasa takut. Dipenuhi oleh percikan rasa depresi dulu yang pernah dia rasakan selama kurang lebih setahun. Bahkan pada saat itu, kakek dan neneknya di Oxford angkat tangan untuk membujuknya bangkit dari masa itu.

Dia bahkan tak ingin bertemu dengan perempuan itu lagi. Meski di mimpi. Meski itu adalah kenangan indah bagi manusia normal. Semuanya terasa buruk dan suram bagi Keenan.

Kepergian dan pengkhianatan itu membuat segala kenangan yang seharusnya indah tak bernilai apa-apa baginya, selain rasa takut dan depresi.

"Keenan?"

Keenan menoleh ke arah suara dari sofa yang ada di sudut kamarnya.

"Lo… mimpi buruk?"

Keenan buru-buru berbaring kembali, membelakangi Hana yang posisinya tengah berada di atas sofa, menonton TV, di kamarnya. "Harusnya gue gak tidur siang tadi."

Keenan dapat merasakan suara langkah kaki Hana yang mendekat ke arahnya. Perempuan tersebut kemudian duduk di tepian tempat tidur.

Keenan masih membelakangi Hana, berharap agar perempuan itu tak menanyakan apapun mengenai gumamannya tadi.

"Are you still in love with her?" tanya Hana dengan nada rendah. "Let's talk in English, so you can be yourself."

Keenan menghela napasnya panjang. Sesak, rasanya. Dia tau bahwa Hana bisa mendengarkan segala isi hatinya dengan baik. Bukannya dia tak ingin memberitahu Hana, tapi masalahnya, dia tak sanggup menceritakan hal tersebut. Terlempar kembali ke masa-masa itu dan memutar kembali memori tersebut adalah hal terburuk baginya.

"I don't even know the answer," jawab Keenan lirih. Nada suaranya yang terdengar sangat rendah tersebut menggambarkan kesedihannya dengan sangat baik. "I don't even made a mistake. I'm not even wrong. I'm not the one who leave her. I'm not the one who destroyed all of this."

Suara lirih tersebut terdengar tersengal. Hana dapat merasakan bahwa Keenan tengah menahan kesedihan yang luar biasa kini.

"I'm broken, Hana... I'm so broken," Keenan menelan salivanya, menelan segala rasa pahit di dadanya. "Gue bahkan gak bersalah. Gue bahkan gak nyakitin siapa pun. Gue yang disakiti, tapi kenapa gue yang hancur? Gue depresi selama kurang lebih setahun. Kenapa gue yang seakan-akan dihukum?"

Hana ikut merasakan sakit mendengar suara Keenan yang terdengar menekan segala rasa yang berkecamuk di hatinya.

Hana meletakkan tangannya di rambut Keenan, mengelus pelan rambut lelaki tersebut, meski dengan ragu-ragu. "If you are broken, then you should find something to fix you."


***

Yang dirasakan Keenan bukanlah rasa bersalah, tapi rasa kecewa yang memecah belah hatinya. Rasa kecewa yang kemudian membuatnya depresi dan tak ingin melakukan apapun selama kurang lebih setahun. Sesakit itu. Semuanya hanya dia tumpahkan ke piano. Piano yang menjadi satu-satunya pelariannya saat itu.

Rasa kecewa besar yang menghancurkan dirinya.

If you are broken, then you should find something to fix you.

Something or someone?

Hanya satu kalimat, tapi bisa membuat hatinya mendingin seketika, meski tak langsung sembuh semua. Hanya satu tatapan penuh perhatian dari mata cokelat tua bening tersebut, tapi bisa mengobati rasa takut di hatinya. Hanya sentuhan ringan di rambutnya, tapi bisa menutupi luka di hatinya, meski diibaratkan hanya obat kecil dan meski nanti luka itu pasti datang lagi.

Rasa takut, kecewa, sakit, dan segala hal buruk yang ditimbulkan oleh masa lalu yang menyebabkan depresi baginya beberapa tahun yang lalu, sudah dia obati dan tutupi dengan sebuah kaca. Tapi, meski sembuh, suatu saat kaca itu bisa saja pecah dan perasaan buruk itu muncul lagi.

Itulah yang tadi terjadi. Mimpi buruknya membuat kaca yang melindungi masa lalu di benaknya retak, dan membuatnya mental breakdown untuk beberapa saat.

Keenan tertegun. Apa yang terjadi jika Hana tidak ada tadi?

Keenan menoleh ke meja yang terletak di sudut tempat tidurnya, kemudian meraih benda berwarna biru muda tersebut.

"Ini buat nangkal semua mimpi buruk lo. Warna biru, karena warna biru itu warna keberuntungan. Lo kayanya juga harus ganti cat dinding kamar lo jadi biru muda, deh. Psikologi bilang, kalau lo bangun pagi dan langsung liat warna biru, pikiran lo bisa jadi lebih fresh."

Keenan tersenyum ringan, kemudian menggantungkan dreamcatcher tersebut di dinding, di atas tempat tidurnya.

Dia akan mengganti cat dinding kamarnya besok.

Forever YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang