[24] Bersepeda

287 67 1
                                    

YAIYALAH dia gak mau sama lo. Lo gak sadar apa, muka lo kaya sapi," kekeh Karel seraya menyendok makanannya, mengejek Keenan yang malam ini tampak lesu.

Sebenarnya sejak pagi sih, Keenan juga sudah tampak lesu. Seiring berjalannya waktu, bukannya semakin sembuh, malah semakin sakit.

"Mohon maap, muka kalian sama, Kak," ujar Mama sembari menyuapkan makanan ke Bianca yang tengah sibuk menonton di iPad miliknya. "Ya, kamu harus ada tindakan, Bang. Liatin kalau Abang beneran sayang sama dia."

"Gimana, Ma?" tanya Keenan.

"Ya, kasih perhatian, kek."

"Kan gue udah bilang, hape itu penting," sahut Karel. "Lo gak percaya, sih."

Keenan terdiam sejenak. Fix, besok, dia harus punya hape. Kalau perlu, yang paling mahal di toko itu.

"Emangnya lo kenapa, sih? Digantungin sama Hana?" tanya Karel.

"Bego banget. Gue ditolak! Bukan digantungin lagi," ucap Keenan menyuap makanannya dengan raut wajah lesu bercampur sebal. "Harga diri gue sebagai laki-laki sekarang entah dimana, njay."

"Lebay banget. Baru ditolak sekali aja udah begitu," kata Karel tertawa mengejek. "Dasar bucin. Makanya, jomblo aja."

"Lo kalau ngejomblo gak usah ajak-ajak," ujar Keenan menatap sengit, kemudian bangkit dari duduknya. "Udah ah, mau jalan-jalan dulu. Ma, Abang mau nyari angin dulu di luar."

Keenan berjalan menuju pintu luar, kemudian mengambil sepedanya untuk pergi jalan-jalan, meski jam menunjukkan pukul tujuh malam. Bintang-bintang tampak lebih banyak dari biasanya, begitu pula dengan bulan purnama yang tampak lebih terang.

Keenan mulai mengayuh sepedanya untuk berjalan ke arah yang belum tau kemana akan dituju.

Lho?

Keenan menyipitkan matanya, mencoba menebak-nebak siapa perempuan yang jauh di depannya, yang tengah berjalan kaki dengan dress sederhana sebetis berwarna biru muda dan rambut yang digerai.

Mampus, itu Hana. Apa yang harus dia lakukan? Menyapanya? Mengabaikannya? Jangan bodoh. Mana mungkin dia mengabaikannya seperti anak SD yang sedang berantem.

Keenan menyejajarkan sepedanya dengan langkah kaki Hana, sehingga gadis tersebut menoleh ke arah Keenan dengan tatapan kaget.

"Mau kemana lo?" tanya Keenan.

"Ke festival," jawab Hana singkat, tetap melanjutkan langkahnya, seperti ogah-ogahan menjawab pertanyaan Keenan.

"Hah, jawaban macam apa itu?" ujar Keenan sebal. "Festival dimana?"

"Di deket sekolah kita. Lo sendiri mau kemana?"

"Ngapain lo jalan kaki sendirian ke sana?" tanya Keenan akhirnya menghentikan jalan sepedanya. "Lo bisa gak berhenti dulu, njir? Pusing gue."

"Makanya, lo ngapain ngikutin gue?" tanya Hana balik, tak kalah sebal dengan kelakuan Keenan. "Rencananya gue pergi bareng Sam. Tapi, gak tau deh, dia mendadak sibuk banget akhir-akhir ini."

Keenan hanya mangut-mangut.

"Mau gue anterin gak, ke sana?" tawar Keenan seraya menggaruk kepalanya yang tak gatal tersebut, gugup. "Kalau lo dibegal di tengah jalan, gue bisa aja jadi saksi atau bahkan tersangka karena gue yang ketemu sama lo terakhir kali."

Hana terdiam sejenak. "Yーyaudah, tolong, ya."

Hana segera duduk di belakang Keenan. Keenan mulai mengayuh sepedanya dengan kecepatan sedang. Angin malam cukup membuat Hana merasa dingin, meski pakaiannya berlengan panjang.

Hana mengangkat kepalanya, memandang rambut Keenan dari belakang. Aroma khas parfum pria yang dapat dia rasakan dari kaos putih polos yang Keenan kenakan. Rambut lelaki tersebut tampak sedikit pirang ketika mereka berjalan di bawah lampu-lampu jalanan.

Angin malam. Bebintangan. Bulan. Lampu jalanan. Tanpa Hana sadari, bibirnya mengukir senyuman. Jika bukan Keenan yang berada di dekatnya sekarang, apakah dia masih merasakan kenyamanan yang sama?

"Kenapa Hana?"

Hana terbuyar dari lamunannya. "Maksudnya?"

"Kenapa nama lo Hana?" ulang Keenan.

"Hana artinya bunga dalem bahasa Jepang," jawab Hana. "Almarhum Opa gue yang ngasih nama, karena beliau orang Jepang."

"Orang Jepang asli?"

"Iya."

"Jadi, lo berarti keturunan Jepang?" tanya Keenan dibalas deheman oleh Hana.

"Lo juga blasteran, kan? Keturunan Inggris?" tanya Hana, juga dibalas deheman oleh Keenan. "Anak gue sama lo bakalan jadi blasteran Indo, Jepang, Inggris, dong. Ribet banget, dah."

Hana hanya diam.

Set, dah. Salah ngomong.

"Jadi, kenapa Hana?" tanya Keenan lagi.

"Karena Opa suka banget sama bunga," jawab Hana tersenyum. "Sukanya tuh suka banget. Opa bilang, waktu dia ketemu gue pertama kali, dia seneng banget, seseneng waktu dia ngeliat bunga yang jadi hal favoritnya."

"Opa lo pernah bilang gak, lo mirip bunga apa?"

"Bunga matahari."

Keenan tertawa mengejek. "Waktu kecil doang, kali. Gedenya jadi bunga tai ayam."

Hana memukul punggung Keenan cukup keras, membuat lelaki tersebut mengaduh kesakitan.

"Kalau lo ke festival bareng Sam, lo bakal ngapain aja?" tanya Keenan lagi.

"Gak banyak, sih," jawab Hana.

Keenan terdiam sejenak. "Pernah gak sih, terbesit di pikiran lo kalau suatu hari lo bisa aja suka sama dia?"

"Gak bakalan."

"Kenapa?" tanya Keenan. "Kita gak tau ke depannya gimana."

"Pokoknya dia sahabat gue. Gue udah nganggep dia lebih dari keluarga," jawab Hana. "Gak bakalan semudah itu untuk berubah jadi cinta."

"Dia sendiri gimana? Kalau ternyata selama ini dia suka lo, gimana?"

Untuk beberapa detik, Hana terdiam. Dia bahkan belum pernah memikirkan hal itu selama dua belas tahun dia berteman dengan Sam.

"Jangan bego," Hana terkekeh. "Mana mungkin cowok sedingin Sam bisa jatuh cinta sama gue?"

"Lo bisa aja gak menyadari itu karena lo selalu berpikir dia adalah sahabat lo, jadi lo juga berpikir kalau dia ngerasain hal yang sama kaya yang lo rasakan," ujar Keenan menyeringai. "Udah sampe."

Mereka akhirnya sampai di festival. Dari luar, tercium aroma jajanan-jajanan yang membuat perut seketika menjadi lapar.

"Lo mau kemana?" tanya Keenan melihat Hana yang mulai berjalan menuju gerbang festival.

"Beli makanan," jawab Hana. "Lo mau langsung pulang atau ikut?"

"Pulang," jawab Keenan memutar arah sepedanya, bersiap untuk pulang.

Hana terdiam sejenak, membuat Keenan menaikkan alisnya sebelah sebagai tanda tanya.

"Lo yakin gak mau ikut?" tanya Hana sekali lagi.

Keenan terdiam sejenak. Jika dia ikut, dia akan bersama Hana sepanjang malam dan tidak akan bisa mengontrol perasaannya. Bukan hal yang mudah bisa berbicara secara leluasa dengan seorang gadis yang baru saja menolaknya, kan?

Keenan hanya melempar senyumannya, kemudian meletakkan tangannya di atas kepala Hana, mengusap rambut perempuan tersebut. "Maaf ya, Hana. Lain kali."

Forever YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang