[21] Hujan, Kelas, Confession

267 70 0
                                    

PAGI ini, ramalan cuaca memiliki kemungkinan yang tinggi untuk hujan. Bahkan, ramalan cuaca menyarankan untuk tidak pergi kemana-mana jika tidak memiliki keperluan yang penting.

Tapi, hari ini hari Senin. Bagaimana cara Keenan meyakinkan mamanya untuk bolos sekolah hari ini? Lagipula, jika diberitahu mengenai ramalan cuaca yang dia baca, mamanya takkan percaya.

Bahkan, sejak pagi tadi, langit sudah tak bersahabat dan menampakkan kegelapannya dalam kemendungan. Jika saja hujan sejak pagi, dia dapat bertaruh bahwa akan banyak teman sekelasnya yang memutuskan untuk bolos sekolah dengan alasan hujan. Bahkan yang punya mobil sekalipun, menjadilan alasan tersebut untuk bolos.

Keenan hanya bisa memperhatikan penjelasan Bu Tia dengan malas, mencoba menahan kantuknya meski dirinya sudah menguap berulang kali.

Jam menunjukkan pukul dua siang. Air hujan menghantam permukaan bumi dengan deras. Langit gelap, menampakkan kesedihannya sehingga kelas yang biasanya terang menjadi gelap, dan lampu kelas terpaksa harus dihidupkan.

Tapi sepertinya, deras hujan hari ini sudah tak normal lagi. Bahkan, petir besar yang berulang kali menghardik mereka, membuat suasana pembelajaran mereka menjadi semakin tak nyaman dan menakutkan.

"Selamat siang, semua," Suasana menjadi hening ketika suara Pak Bery, kepala sekolah mereka, tiba-tiba terdengar dari sound system.

"Diharapkan kepada para siswa untuk segera berkumpul di aula. Jam pembelajaran ke depan akan ditiadakan untuk hari ini karena badai di luar yang membahayakan. Orang tua kalian akan kami telepon untuk menanyakan persetujuan mereka, apakah siswa yang membawa kendaraan boleh pulang sendiri atau sebaiknya dijemput orang tua."

Suara gesekan kursi dan lantai di kelas terdengar setelahnya. Semua siswa di kelas Keenan lantas merapikan peralatan tulis, menyandang tas, dan bergegas menuju aula. Samar-samar terdengar desisan para siswa yang ber-yes ria karena bisa pulang cepat.

Jam dua siang terasa seperti jam lima sore. Keenan dapat merasakan ketidaknyamanan ketika dikelilingi oleh banyak orang di aula ini. Meski dia dan teman-teman sekelasnya sibuk menggosip, tapi dia masih dapat merasakan pandangan para siswa perempuan yang tidak dia kenal ke arahnya, diiringi bisikan-bisikan dan tatapan cinta setelahnya. Ehm.

Satu persatu mulai berlalu. Ada yang dijemput orang tuanya, ada yang diperbolehkan oleh orang tuanya untuk pulang dengan kendaraan sendiri. Nama Keenan sedaritadi masih belum dipanggil. Karel? Dia tak tau apa yang terjadi dengan anak itu, tapi mungkin dia menumpang dengan kendaraan orang tua temannya, karena Keenan sempat melihat lelaki itu berlalu dengan seorang temannya tadi, sembari membawa tas.

Memang sih, Karel itu menumpang pergi dan pulang dengan mobil Keenan, tapi setidaknya dia harus memikirkan saudara kembarnya. Memang tak ada akhlak.

"Bego banget gue nunggu kaya begini," gumam Keenan memeluk lututnya, menyandarkan tubuhnya ke dinding sembari terus memandang ke arah pintu aula, berharap agar bapak yang berkumis tersebut memanggil namanya agar dia bisa pulang dengan mobilnya sendiri.

Tapi jika dipikir-pikir, mama dan papanya sempat bilang bahwa hari ini ada acara besar dalam rangka memperingati hari jadi perusahaan mereka yang menginjak usia sepuluh tahun. Tapi mau ada acara penting kek, apa kek, seharusnya mama atau papanya menjawab telepon dari sekolah. Sepenting apakah acara itu dibandingkan nasib anaknya yang menyedihkan ini sekarang? Kelar! Mungkin karena itulah, Karel memutuskan untuk pulang duluan.

Baiklah, baru kali ini dia merasa bahwa ternyata hape benar-benar berguna disaat hal penting seperti ini.

Jumlah siswa semakin sedikit. Bahkan, Keenan dapat melihat wajah tiap murid perempuan yang masih menunggu di belakang barisan laki-laki.

Tapi, tunggu. Dimana Hana? Dia bahkan tak melihat perempuan itu melewati pintu aula untuk pulang.

Keenan bangkit dari duduknya, permisi untuk keluar sebentar dari aula. Dia bahkan tak melihat Hana permisi ke Pak Dodo untuk keluar dari aula.

Atau apakah dia sudah pulang, ya?

Keenan menaiki anak tangga, berjalan menuju kelasnya.

Sret.

Suara pintu geser itu cukup membuat seseorang yang tengah duduk di sebelah jendela tersebut terperanjat. Hana menoleh ke arah Keenan yang baru saja memasuki kelas, kemudian mengernyitkan dahinya.

"Lo ngapain?" tanya Hana.

Keenan mengambil posisi di kursi yang pas di depan meja Hana kini. "Lo ngapain?"

"Gak ngapa-ngapain," tanya Hana menopang dagunya, menoleh ke luar jendela dengan wajah datar. "Nunggu sampe semua orang pulang, baru gue pulang."

"Hah?" Keenan menautkan alisnya, gagal paham.

"Kalau gue maksain buat pulang sendiri juga, gak bakalan dibolehin sama sekolah," kata Hana. "Kalau gue nungguin pun, gak bakalan ada jawaban."

Keenan hanya bisa terdiam, ikut menopang dagunya, menatap wajah Hana yang menampakkan satu ekspresi yang berhasil dia tangkap.

Ekspresi yang ingin sedih tapi sudah terlalu terbiasa dan capek.

"Lagian, orang tua gue gak peduli sama apapun di dunia ini," lanjut Hana, masih menatap ke arah luar. "Selain kerjaan."

Hana kemudian menoleh ke depan, sehingga tak sengaja berhadapan dengan Keenan yang justru tengah menatap dirinya dengan tangan yang menopang dagu.

"Apaan, dah," ucap Hana menepuk jidat Keenan, membuat lelaki itu spontan mengaduh memegangi jidatnya.

Keenan kemudian mengubah posisinya, duduk di atas meja pasangan kursi yang tadi dia duduki. "Keluarin aja."

Hana menoleh. "Hm?"

"Keluarin aja semua yang lo pengen ceritain," jelas Keenan.

Hana tersenyum ringan, meski tatapannya tak tertuju ke Keenan.

"Itu udah semua," kata Hana. "Simple banget, kan? Kesedihan yang gede bahkan bisa disebabkan oleh alasan yang kecil. Kesedihan yang selalu gue pendem sejak kecil. Gue bersyukur Kevin itu cowok, jadi dia bisa lebih cuek soal kayak gini. Beda sama anak perempuan yang lebih baperan."

Gordyn jendela yang berwarna biru muda dengan polkadot mini berwarna putih itu diayun-ayunkan oleh angin.

"Lo gak dingin di situ?" tanya Keenan.

Hana diam sejenak. "Lo apaan, sih. Gue lagi ngomong apa, lo balesnya apa."

Keenan tertawa. "Gue dengerin lo. Cuma lo gak dingin apa, di situ?"

Hana menggeleng. Kedua tangannya sibuk mengucek matanya secara bergantian, menyeka air matanya yang ingin keluar. Keenan sendiri sempat kaget, apakah gara-gara pertanyaan Keenan barusan makanya dia menangis?

Hana menarik gordyn tersebut untuk menghalangi pandangan Keenan ke arahnya, meski Keenan masih dapat melihat bayangan Hana dari balik gordyn yang cukup tembus pandang tersebut. Perempuan itu sibuk menghapus air matanya.

"Lo kenapa, sih?" tanya Keenan menahan tawa. "Bego banget."

"Lo yang bego," balas Hana. Lihatlah, bahkan di saat seperti ini, dia tetap tak ingin kalah dalam perdebatan apapun.

"I can still see your tears, idiot," sahut Keenan tertawa. "Ngapain ditutup-tutupin."

"Gue gak suka keliatan weak di depan orang," jawab Hana. Tangisnya pecah. Tangan tersebut masih sibuk menghapus air matanya, dan tangan lainnya yang tetap memegang gordyn untuk menghalangi pandangan Keenan ke arahnya.

"Stupid," kata Keenan. "Fool. Moron."

Hana tak membalas apa-apa lagi, masih menyeka tangisannya yang tak bersuara.

"I love you, Hana."

Hening kemudian. Keenan dapat melihat dari bayangan gordyn tersebut, bahwa perempuan yang kini di hadapannya memantung untuk beberapa saat, bahkan tangannya yang tadinya sibuk menyeka air mata, ikut terdiam.

"Even though you look stupid when you are crying, I still love you."

Forever YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang