[08] Deep Conversation

340 83 0
                                    

DAMN." Keenan menghela napasnya, memarkirkan mobilnya di garasi. Dia lupa, kalau malam ini, Mama, Papa, Karel, dan Bianca pergi ke acara teman kerja Papa. Keenan sebenarnya diajak, hanya saja, dia spontan menolak bahkan sebelum diajak.

Argh, sejak dia ketemu Hana, dia jadi lebih sering mengingat soal Vanessa. Mereka punya persamaan; mudah memaafkan. Sejak Hana memaafkannya dengan senyuman ringan dan sorot mata yang melihat ke arah yang berbeda malam itu… Keenan jadi tak bisa berhenti memikirkan Vanessa. Vanessa juga melakukan hal seperti itu setiap Keenan meminta maaf padanya.

Rasa rindu itu semakin menjadi-jadi.

Kehilangan yang paling menyakitkan ada dua; ditinggal pergi karena kematian dan ditinggal pergi karena dia lebih memilih orang lain. Bagaimana jika keduanya terjadi sekaligus?

Keenan bahkan tak tau, apakah dia harus sedih atas meninggalnya Vanessa, atau harus marah atas perselingkuhan Vanessa dengan orang lain pada waktu yang bersamaan.

Ah, Vanessa. How dare you to make me feel this way?

Keenan akhirnya duduk di kursi teras depan rumahnya, menopang dagu menatap hujan yang tak berhenti sejak sore tadi. Tak berhenti, hanya perbedaan frekuensi. Hoodie hitamnyaーdengan topi hoodie tersebut yang dia pasang di kepalaーrasanya belum cukup untuk menetralkan rasa dingin yang cukup menusuk ke kulit. Belum lagi betisnya. Serasa ditusuk-tusuk, karena dia hanya mengenakan celana pendek selutut.

"Huh… lo lagi."

Keenan mendongakkan kepalanya ke atas, mencari sumber suara yang cukup dia kenal tersebut. Hana, yang tampak tengah berdiri di atas balkon kamarnya, hanya bisa melempar cengirannya kepada Keenan yang dia rasa tampak menyedihkan.

Keenan hanya mengangkat alisnya, sepersekian detik kemudian kembali menopang dagu menatap kosong ke depan.

"Eh," Hana memanggil. "Lo kenapa di luar?"

"Kekunci," jawab Keenan singkat.

"Gak dingin?" tanya Hana lagi.

"Kepanasan gue," kata Keenan tersenyum miring. Pertanyaan tolol, batinnya.

Hening. Keenan menoleh ke atas, menjumpai bahwa orang yang mengajaknya bicara tadi sudah hilang entah kemana.

Anjir, itu tadi beneran orang gak, sih? Jangan-jangan…

"Kak," Kevin mengintip dari balik tembok yang rendah. Bodohnya, Keenan malah terkaget karena dikagetkan saat sedang membayangkan hal-hal horror. "Masuk, yuk. Temenin nonton."

Keenan mengernyitkan dahinya untuk beberapa saat, kebingungan; meski dia masih melemparkan senyum untuk Kevin yang bela-belain buka pintu dan keluar untuk mengajak Keenan masuk, padahal sedang dingin di luar sini.

Disuruh Hana?

Keenan akhirnya memasuki rumah Hana. Laki-laki berusia lima tahun berkulit putih tersebut tampak menuntunnya menaiki tangga sembari bercerita mengenai kartun favoritnya tersebut.

"Kok Kevin tau Kakak ada di luar?" tanya Keenan mengambil tempat di atas karpet biru laut di kamar Kevin.

Kevin, yang sibuk mencari-cari DVD di dalam kotak koleksi filmnya, lantas menoleh sekilas. "Soalnya, Kak Hana yang bilang."

"Kalau ternyata itu tadi bukan Kak Keenan tapi Kak Karel, masih mau ngajak ke dalem?" tanya Keenan tersenyum.

Kevin menggeleng.

Keenan menyengir kuda. Njir, ternyata dia emang gak suka sama Karel.

"Lo mau nginep, gak?" tanya Hana bersandar di ambang pintu kamar Kevin, dengan bantal dan selimut yang tengah berada di pelukannya; sepertinya untuk Keenan.

Forever YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang