HARI ini, Hana memutuskan untuk datang ke rumah Sam. Sudah hampir sebulan mereka tidak saling contact, bahkan Sam selalu menghindar ketika Hana mengajaknya untuk jalan-jalan, makan di luar, dan sebagainya. Bahkan, mereka tak pernah menginap lagi saat weekend, padahal sebelumnya, itu adalah hal terpenting bagi mereka satu sama lain.
"Lo ngapain?" tanya Sam menuruni anak tangga, dengan suara berat dan terkesan dingin seperti biasanya. Banyak yang mempermasalahkan hal itu sejak dulu, sehingga menyebut Sam adalah orang yang arogan, tapi Hana yang paling tau bahwa Sam memiliki hati yang sangat baik.
"Lo ngapain?" ulang Sam, kali ini sudah berada di hadapan Hana yang tengah duduk di sofa abu-abu ruang tamu.
"Apa salahnya gue dateng?" tanya Hana balik. "Kenapa lo tanya gue ngapain?"
Sam hanya diam, menghela napasnya panjang. Tampaknya, kali ini dia memang salah menggunakan kata dalam berbicara.
Sam mengambil posisi di sofa tunggal yang ada di sebelah sofa panjang yang Hana duduki. "Lo lagi punya masalah di sekolah?"
"Masalah gue adalah lo, Sam," jawab Hana dengan nada penuh kekesalan. Sam sudah sering mendengar nada itu, tapi kali ini terkesan lebih dingin. "Lo kenapa?"
"Gue gak kenapa-napa," jawab Sam singkat, tanpa kalimat penjelas setelahnya.
"Kenapa lo ngejauh?" tanya Hana lagi. Satu minggu tak berkomunikasi saja, sudah menjadi hal yang amat janggal bagi Hana, apalagi sebulan, mengingat sedekat apa mereka sejak kecil, bahkan tanggal, bulan, dan tahun ulang tahun saja sama.
Namun, kini? Bahkan dirinya yang biasa pergi-pulang sekolah dengan Sam, kali ini harus membawa kendaraan sendiri atau diantar-jemput.
"Kenapa?" ulang Hana.
"Lo kan bisa minta temenin sama temen lo yang lain," jawab Sam. "Lo punya banyak temen, kan? Kenapa selalu gue?"
Hana tertegun. Hatinya sakit, dengan nada bicara Sam yang seolah-olah mengatakan secara tak langsung bahwa Hana selalu memintanya akan hal apapun. Hana selalu menyusahkannya. Selalu Sam.
"Kenapa lo harus bilang kaya gitu?" tanya Hana setengah membentak. "Kalau lo nganggep gue benalu selama ini, kenapa lo gak bilang aja?"
Sam terdiam sejenak, mengepalkan tangannya sendiri sambil menunduk ke lantai.
"Hana," Sam menjeda ucapannya. "Kita bukan anak-anak lagi."
Hana hanya diam.
"Kita udah dewasa. Kita berdua bakalan berumur 18 tahun tiga hari lagi, kenapa lo gak pernah ngerti soal ini?" tanya Sam. "Lo selalu bertingkah kekanakan. Lo masih selalu nganggep gue Sam berumur empat tahun yang lo temui pertama kali."
"Gue gak paham apa yang lo omongin," ujar Hana. "Gue cuma nanya, kenapa lo ngehindar? Kalau gue punya salah lo bisa bilang, jadi gue bisa minta maー"
"Dalem beberapa bulan lagi, kita lulus dari SMA," potong Sam. "Gue bakal ngelanjutin sekolah di Jerman."
Hana mematung. Ucapan Sam sukses membuatnya membeku di tempat. Setelah hening sejenak, bola matanya tanpa dia sadari mengeluarkan air mata. Jantungnya berdegup kencang, tak habis pikir dengan ucapan Sam barusan. Rasa takut bercampur kesal seketika menyelimuti hatinya.
Ingin rasanya dia pukul Sam sekencang-kencangnya, tapi dia sudah tak punya tenaga untuk hal itu. Tubuhnya sudah lemas dan yang dia bisa lakukan sekarang hanya menangis.
Hana bangkit dari duduknya, kemudian berjalan keluar dari rumah Sam.
Sam menarik tangan tersebut, ketika Hana sudah berada di halaman rumah Sam yang luas dengan air mancur yang tak jauh darinya, bertujuan untuk berjalan menuju dimana mobilnya ia parkirkan.
"Lepasin tangan gue," Hana menepis tangan Sam sekuat tenaga, tapi Sam pun menarik tangan Hana sekuat tenaga. "Gue mau pulang."
"Udah gue bilang, kita bukan anak-anak lagi," ucap Sam dengan nada rendah. Hana tau, bahwa Sam selalu memasang nada itu ketika dirinya dirundung kesedihan.
"Lepas, Sam. Sakit," Hana enggan melihatkan wajahnya. "Udah gue bilang sakit."
Sam melepaskan tangan Hana. Tapi, ada satu hal yang dia tangkap dari ucapan Hana tersebut.
Yang sakit bukanlah tangannya, tapi hatinya.
"Buat lo, gue ini apa, Hana?" tanya Sam kemudian.
Hening sejenak. Hana lebih sibuk menghapus air matanya, daripada fokus kepada pertanyaan Sam barusan.
"Lo adalah gue," jawab Hana. "Lo adalah orang terpenting buat gue. Bahkan ketika orang tua gue selalu pergi, lo yang selalu ada."
"Lo adalah gue," ucap Sam menarik Hana ke pelukannya, mengulang kata yang sama. "Lo adalah orang terpenting buat gue. Sampe kapanpun."
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever Yours
Teen FictionKeenan memutuskan untuk kembali ke Indonesia pada tahun terakhir masa SMA-nya, setelah bertahun-tahun menetap di negeri asal papanya. Di balik segala kelebihan dan sifatnya yang paling annoying di keluarga, dirinya menyimpan luka selama setahun lebi...