[13] Atap, Kenangan, Obat dari hati yang berdarah

290 73 0
                                    

HAH? Dispensernya rusak?" Hana mengernyitkan dahinya, menatap penjaga cottage tersebut dengan penuh kekesalan.

Bapak penjaga cottage tersebut hanya bisa menelan ludahnya, ketakutan karena dirinya tampak tengah ditatap oleh pemangsa sekarang.

"Jadi, mau gimana dong, Pak?" tanya Hana mendengus sebal.

Lah, piye to? Kok Bapak yang disalahin, Neng? batin si Bapak.

Masa rebus airnya pakai air dingin? batin Hana.

"Neng bisa pinjem dispenser di cottage sebelah," jawab Bapak tersebut tersenyum tertahan, sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Mana mungkin dia pinjam dispenser di cottage sebelah yang isinya anak Saint Meyer! Setelah kejadian tadi pagi, mana mungkin dia mau ke sana untuk sekedar haha hihi meminjam dispenser tanpa ragu.

"Kalau gitu, saya boleh pinjem dapur gak, Pak?" tanya Hana lagi.

"Uhmー yah, boleh, kok," jawab Bapak kemudian mempersilahkan Hana masuk ke dalam rumahnya yang berwarna putih bersih dan cantik serta minimalis tersebut. "Di dalam juga ada yangー"

"Ih, kok ada elo?" tanya Hana menunjuk lelaki yang mengenakan hoodie berwarna biru tua tersebut dengan telunjuknya.

Lelaki yang tampak tengah memotong-motong bawang tersebut lantas menoleh ke arah Hana. "Lo ngapain di sini?

"Gue mau masak air," jawab Hana segera mengambil panci kecil yang digantung di dekat kompor. "Terus, lo sendiri ngapain?"

"Gue mau masak," jawab Keenan. "Makan malem tadi rasanya kayak…" Keenan menggantungkan ucapannya, kemudian hanya berdehem. "Lo ngapain masak air? Mau mimi cucu?"

"Masak mi," kata Hana memutar kedua bola matanya sebal. "Emangnya lo bisa masak?"

"Jangan diragukan," kata Keenan menepuk dadanya bangga. "Oh ya, lo tadi gak ikut makan malem, kan?"

"Gue tidur."

"Kalau lo mau, gue bisa sekalian masakin, sih…" kata Keenan beralih untuk memotong-motong sosis. "Gue bawa banyak bahan-bahan makanan karena gue tau kalau makanan di sini gak bakalan cocok sama perut gue."

"Gak usah, deh, makasih. Ntar gue malah keracunan."

Keenan menatap sengit. Enak aja makanannya dinilai jadi seburuk itu.

"Banyakin dikit masak airnya," sahut Keenan.

"Hah, kenapa?"

"Gue juga mau masak mi."

"Hah? Kan lo lagi masak nasi goー"

"Gue perlu dua porsi makanan, oke," potong Keenan sembari membuka mi instan cup dengan cup yang berwarna kuning. Berbeda dengan Hana yang memiliki cup berwarna hijau, rasa soto, rasa favoritnya.

Usai memasak air dan memasukkannya ke dalam termos, Hana duduk di kursi meja makan, menunggu Keenan selesai memasak nasi gorengnya.

Tak salah lagi. Dengan kondisi perut yang belum makan malam, saat ini benar-benar menjadi cobaan bagi Hana, karena nasi goreng yang Keenan masak benar-benar harum dengan bau lada dan bawang goreng kesukaannya.

"Cepetan. Gue mau balik ke cottage. Atau lo ambil air panasnya langsung ke kamar gue aja nanti?" tanya Hana memutar kedua bola matanya sebal.

"Kalau lo mau…" Keenan menggantungkan ucapannya, menggaruk tengkuknya yang tak gatal tersebut dengan gugup. "Mau makan bareng di atap, gak?"

Hana terdiam sejenak.

"Atap? Atap mana?"

"Ikut aja dulu," kata Keenan mematikan kompornya, lalu meniriskan makanannya ke kotak bekal berwarna abu-abu yang sepertinya dia bawa dari rumah.

Benar-benar patut diberi jempol! Laki-laki yang seragamnya sering keluar dan kadang tak pakai dasi dengan alasan lupa, ternyata memiliki sifat yang perfeksionis begini. Sampai bahan makanan, kotak bekal, sendok garpu, dan botol air minum, semuanya lengkap dia bawa ke sini.

Keenan dan Hana berjalan menelusuri malam bermandikan cahaya bulan dan taburan bintang di langit yang malam ini tampaknya lebih banyak dari biasanya.

Tapi, kapan ya, terakhir kali Hana menatap langit malam?

"Kenapa lo bisa tau kalau ada rooftop di sini?" tanya Hana mengernyitkan dahinya, mengais-ngais daun-daun dari tempat yang dia rencanakan untuk diduduki.

"Naluri lelaki," jawab Keenan asal, sibuk menata makanan di hadapannya.

"Naluri pencuri," kata Hana menyengir.

"Eh, itu rasa apa?" tanya Keenan seraya menuangkan air panas ke mi instan cup miliknya. "Satu-satunya mi instan cup yang gue suka cuma rasa kari."

"Soto," jawab Hana. "Hah, kenapa lo duluan yang nuangin?"

"Eh? Emangnya salah?" tanya Keenan memasang wajah sok lugunya yang lebih terlihat seperti wajah goblok bagi Hana.

"Kan minjem," kata Hana menuangkan air panas tersebut ke mi instan miliknya.

"Ya Alloh, yaudah iya. Pinjem air panas yang tadi, ya, Hana," sahut Keenan bergidik jijik. "Eh, itu mah bukan minjem, ya. Minta maksud gue. Ribet banget dah, berurusan sama cewek."

Hana hanya bisa mengulum senyumnya, menahan tawa.

"Gue masak nasi gorengnya agak banyak tadi. Biar lo juga bisa makan," sahut Keenan. "Gak enak kalau makan sendirian."

Hana terdiam sejenak. Ternyata, lelaki di sampingnya ini lebih baik dan lebih peduli daripada yang dia pikirkan.

Hana menyeruput mi-nya, menatap lurus ke depan. "Kapan ya, terakhir kali gue nikmatin angin malem kaya gini?"

Keenan mengernyitkan dahinya. "Kenapa?"

"Kayanya udah lama banget, sih," kata Hana. "Di Jakarta, jarang banget bisa liat langit yang punya banyak bintang kaya gini."

Keenan lagi-lagi mengernyitkan dahinya. Dari suara dan tarikan napasnya, sepertinya, Hana sedang tak enak hati.

"Kenapa?" tanya Keenan lagi. "Lo bisa ceritain semuanya sama gue."

Hana menoleh sekilas, kemudian tersenyum ringan. "Terakhir kali gue kaya gini kayaknya beberapa tahun yang lalu, deh," Hana memberi jeda. "Waktu Kak Sean masih ada."

Keenan hampir tersedak. Wajar saja dia tampak sedih, posisinya kini mengingatkannya dengan kenangan kepada orang yang sudah tidak ada.

Keenan juga sedang merasakan itu, jika Hana harus tau.

Makan di rooftop bukan menjadi hal pertama baginya. Dia dan Vanessa juga sering melakukan ini dulu.

Dulu.

Pada masa yang tak mungkin bisa diulang kembali.

"Hah," Keenan mendengus sebal. "Udah, jangan ingat-ingat masa lalu."

"Apaan, sih? Gue juga gak pengen ingat-ingat masa lalu," Hana menatap Keenan dengan sebal. "Padahal lo yang nyuruh gue buat cerita."

"Past is past," ucap Keenan. "Now is now. Dulu Bang Sean yang nemenin lo, sekarang gue yang nemenin lo."

Dan dulu Vanessa yang menemani Keenan, sekarang Hana-lah yang menemani Keenan.

"Yang sekarang pasti lebih baik daripada yang dulu," lanjut Keenan. "That's why God send us that person."

Karena Tuhan ingin orang baru itu menghapuskan dan mengobati luka di dalam hati seseorang yang ditinggal pergi.

Keenan tertegun. Kenapa dia mengatakan hal itu padahal dia sendiri berada di posisi yang sama?

Is God is sending me someone who can cure my bloody heart?

Forever YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang