SUDAH berbulan-bulan sejak Sam meninggalkan Indonesia dan melanjutkan kehidupannya di Jerman. Pertama kalinya Hana merasakan kesepian yang mendalam, bahkan lebih dalam daripada kesepian ditinggal orang tuanya yang memang sibuk dan biasa bepergian.
Karena sejak dulu, Sam yang menemaninya ketika dia kesepian karena orang tuanya yang selalu sibuk. Tapi, kini?
Setelah kelulusan dan promnight, akhirnya kelas Hana kesampaian juga mengadakan liburan. Uang yang mereka kumpulkan bahkan lebih dari cukup, karena meminta uang untuk liburan kepada warga kelas tak sesulit ketika dia meminta uang kas. Wajar, karena masing-masing dari uang itu memiliki tujuan yang berbeda.
"Lo beruntung banget deh, Han," Dhiva menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Kini mereka tengah berada di villa milik keluarga Brandon yang katanya hanya dipakai setahun sekali. "Keenan ya, baru turun dari bus aja udah nyariin lo."
Hana menatap Dhiva lama, kemudian menaikkan alisnya mengisyaratkan 'yang bener?' melalui bahasa tubuhnya, kemudian menahan tawa.
"Kenapa sih lo gak bilang aja perasaan lo yang sebenernya?" tanya Dhiva menatap langit-langit kamar. "Lo nungguin dia nembak lo buat yang kedua kalinya?"
"Bukan gitu," Hana memukul sahabatnya itu dengan cukup kuat, membuahkan ringisan dari gadis tersebut. "Lo bayangin, gue jomblo selama 18 tahun dan tiba-tiba dipertemukan sama orang kayak Keenan. Gimana gak bingung gue?"
"Yaudah sih, lo mau jadi jomblo lebih lama lagi?" Pertanyaan Dhiva tersebut membuat Hana menatap kesal.
"Lo sendiri gimana?" Kali ini Hana memutar topik pembicaraan mereka untuk lebih terfokus kepada Dhiva. "Gimana sama Kak Junaidy?"
Wajah Dhiva langsung bersemu merah, menarik rambut Hana sebal, membuat sahabatnya itu lantas berteriak kesal.
"Gue gak gimana-gimana sama dia," jawab Dhiva bangkit dari baringnya. "Gue mungkin gak bakal pacaran. Mungkin langsung nikah, kali."
"Enak banget," ujar Hana manyun. "Bisa pasti bakaln nikah sama orang yang emang kita cintai."
"Bego," komentar Dhiva menepuk jidat Hana. "Makanya, lo kasih tau Keenan soal perasaan lo yang sebenernya."
Hana kali ini terdiam, tidak menatap kesal ataupun menolak saran Dhiva. Meskipun Dhiva bilang begitu, tapi harga dirinya dipertaruhkan untuk itu.
"Gue mau buat minuman dulu deh, di bawah," ucap Hana kemudian keluar dari kamar mereka, dan berlalu menuju lantai bawah.
Di tengah perjalanannya di tangga, dirinya sontak mematung ketika tak sengaja berpapasan dengan seseorang yang membuat pikirannya kalut saat ini. Keenan yang awalnya juga tampak kaget dan sempat terdiam di tempat beberapa detik, lantas berjalan lagi, menaiki anak tangga tanpa berbicara sepatah kata pun.
"Hah, ekspresi macam apa itu?" tanya Hana sebal, bahkan dirinya sendiri tak sadar berbicara begitu.
Keenan lagi-lagi menghentikan langkahnya, menoleh ke arah Hana sambil memberikan wajah datar. "Bacot."
Hana semakin menatap sebal, kemudian menuruni anak tangga dengan langkah gusar.
"Eh," Suara Keenan terdengar lagi. "Lo mau kemana?"
"Ke lubang anus," jawab Hana asal-asalan, membuat tawa Keenan meledak dan segera memutar arahnya, mengikuti langkah Hana.
"Eh, tadi lo kemana?" tanya Keenan berdiri di hadapan Hana seraya menaruh kedua tangannya di atas meja dapur yang menjadi penghalang di antara mereka. "Kata Dhiva, lo pergi sama Brandon."
"Hah?" Hana menahan tawanya. "Dia kan cuma bantuin gue nyari toilet, kalau gak ada dia, mungkin udah ngompol gue. Eh, bentar, gara-gara itu lo gak nyapa gue barusan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever Yours
Teen FictionKeenan memutuskan untuk kembali ke Indonesia pada tahun terakhir masa SMA-nya, setelah bertahun-tahun menetap di negeri asal papanya. Di balik segala kelebihan dan sifatnya yang paling annoying di keluarga, dirinya menyimpan luka selama setahun lebi...