[29-END] Forever Yours

743 92 2
                                    

HARI ini, Keenan akan berangkat Oxford, Inggris, untuk menetap di sana selama satu bulan, melepas rindunya dengan keluarga dari pihak papanya dan teman-temannya di sana selama beberapa bulan.

Tentu Keenan senang. Oxford benar-benar menjadi tempat terindah baginya setelah negaranya sendiri, Indonesia. Di sana dia akan bertemu teman-temannya, nenek dan kakeknya, serta anjing kesayangan mereka, Kuki.

Dua bulan lagi, Keenan akan menjadi mahasiswa kedokteran dan Hana akan menjadi mahasiswa kedokteran gigi. Hal itu sudah mereka putuskan, dan mereka pun sudah sama-sama lulus di universitas yang mereka inginkan, meski tak sama.

Hana terbangun pagi sekali hari ini, jam 6.01 AM. Hana membuka balkon kamarnya. Langit sudah sedikit terang, atmosfir sekelilingnya kini berwarna dark blue, tapi berkesan lembut. Dirinya dapat melihat embun dengan jelas, kakinya yang telanjang pun terasa basah, karena embun-embun yang menempel di lantai balkon kamarnya.

Hana mengeratkan selimut yang dia bawa, yang kini menyelimuti tubuhnya. Suhu yang dingin ini sepertinya benar-benar harus membuatnya masuk ke dalam kamar lagi, meski suasana segar ini langka sekali baginya.

Baru saja Hana ingin berbalik badan masuk ke dalam kamar, pandangannya tak sengaja jatuh kepada seseorang yang baru saja keluar dari perkarangan rumah di sebelah rumahnya ini, duduk di atas sepeda dengan rambut yang sedikit acak dan jaket berwarna hitam.

Hana terkaget, Keenan pun tampak terkaget. Sepertinya, lelaki itu baru saja ingin bersepeda. Tapi, apakah pagi-pagi begini?

Keenan melambaikan tangannya, meminta Hana turun dan datang kepadanya. Hana bergegas menutup pintu balkonnya, mencuci muka dan menyikat gigi, meraih jaketnya, lalu menuju lantai bawah dan berjalan keluar dari rumahnya.

"Lo mau kemana?" tanya Hana berjalan mendekat.

"Ke bukit pohon pinus," jawab Keenan. "Ayo naik."

"Hah?"

"Ayo naik," ulang Keenan. Hana menaiki boncengan sepeda Keenan, meski dengan sedikit ragu. "Lo pasti gak tau dimana itu bukit pohon pinus."

Keenan segera mengayuh sepedanya. Hana dapat merasakan bahwa jumlah kendaraan di jalanan sangat minim. Lampu jalanan bahkan masih menyala, karena langit yang masih setengah terang dan setengah gelap.

Aroma Keenan masih sama dengan waktu itu. Parfum laki-laki beraroma lembut.

"Lo belum mandi, ya?" tanya Keenan.

"Kenapa?"

"Lo bau."

"Apa lo bilang?"

Keenan meringis sakit setelahnya, menerima pukulan Hana dengan sukarela.

"Gue juga belum mandi," sahut Keenan. "Cuma cuci muka sama sikat gigi."

"Pantes kayak ada bau limbah daritadi," bohong Hana.

Keenan tertawa. "Serah deh, serah."

"Lo bicara apa sama bokap gue waktu itu?" tanya Hana.

"Gue ceritain ke Om kalau lo selalu kesepian sejak kecil," jawab Keenan. "Dia tau soal itu. Dia selalu jagain lo dan Kevin dari jauh, kok. Dia selalu nanyain soal lo dan Kevin ke ART kalian tiap malam. Dia bahkan nunjukin semua riwayat panggilannya ke gue."

Hana tersenyum ringan. "Jadi gitu."

"Bahkan dia sempet nangis waktu cerita ke gue. Dia bilang, nyokap lo juga sering bersalah mengenai itu," ujar Keenan. "Tapi, ini rahasia. Dia bilang, jangan cerita soal ini. Ah, lo sih, mancing gue."

"Lo-nya sendiri yang ember," sahut Hana sebal. "Tapi, sejak itu, mereka jadi sering di rumah."

"Oh? Bagus, deh," kekeh Keenan.

"Makasih ya, Keenan."

Keenan tersenyum. Entah sudah berapa kali dia mendengar kata itu dari mulut Hana. Tapi dari sekian kata yang pernah dia dengar dari Hana, ucapan terima kasih adalah favoritnya.

Keenan memarkirkan sepedanya. Hana melompat turun, lalu menatap kagum. Bukit pohon pinus yang Keenan sebutkan benar-benar indah. Embun-embun dapat disaksikan oleh mata telanjang, meski tubuhnya kini kedinginan.

"Tempat ini adalah tempat favorit gue sejak kecil," ucap Keenan. "Sekaligus tempat healing buat gue."

Tap. Keenan menyelimutkan jaketnya ke tubuh Hana.

"Ayo sini, ikut gue," ujar Keenan berjalan menuju pohon pinus yang tampak sudah tua.

"Keen, gue udah punya jaket. Ntar malah lo yang kedinginan."

"Tapi, masih dingin. Lo pakai aja punya gue," ucap Keenan menghentikan langkahnya. "Ini dia."

Hana mengernyitkan dahinya. "Kenapa bisa ada piano di sini?"

"Piano ini udah tua, punya kakek Jacob Van Couver, temen kakek gue yang udah lama meninggal. Rumahnya gak jauh dari sini. Cucunya sempet berniat buang piano ini dan diganti sama yang baru. Tapi, gue mutusin buat beli piano ini dan minta buat ditaro di sini," ucap Keenan menyentuh tuts piano satu persatu. "Nadanya masih bagus."

Hana terdiam sejenak, menatap kagum sekali lagi. Piano yang memang tampak antik tersebut tampak astetik, berwarna cokelat tua yang sudah pudar dan banyak goresan-goresan yang pastinya punya sejarah.

"Hana," ujar Keenan. "Gue udah selesaikan lagu waktu itu."

Senyum Hana mengembang. "Oh ya?"

"Lo tau nadanya, kan?" Keenan menyodorkan selembar kertas yang berisi sebuah lagu ciptaannya yang sempat dia nyanyikan dengan Hana di rumah musik waktu itu; Forever Rain; Forever Yours.

Lagu yang menjadi salah satu alasan mereka bisa menjadi seakrab sekarang.

Hana mengangguk. Nada dari piano tersebut mulai memanjakan telinganya, mengiringi lirik lagu yang akan dia nyanyikan.

You said don't leave me even though we are far apart
But you need to know
You are more important than my medicine

You completely tear me apart if you leave me alone
So please, be mine and I will be yours forever

Hana melingkarkan tangannya di leher Keenan. Hatinya benar-benar bahagia, dapat dicintai oleh seseorang seperti Keenan.

"Keenan."

"Hm?"

"Please be mine and I'll be yours forever."

•END•

----------------------------------

written by sf

Forever Yours,
5 September 2019,
end.

Forever YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang