[16] Urusan Keluarga, Menginap, Kenyamanan

285 70 1
                                    

KEENAN merasa tak mengantuk sama sekali selama perjalanan, entah kenapa. Selama lebih dari enam jam duduk di kursi bus dengan AC yang merayu mata untuk beristirahat, namun, Keenan tak termakan oleh rayuan tersebut.

Benar kata Hana, bahwa tiap orang yang melihat mereka pasti akan julid. Keenan dapat melihat bahwa beberapa perempuan melihat ke arah mereka dengan tatapan aneh diikuti bisikan-bisikan setelahnya. Meski Keenan sibuk dengan macbooknya, tapi, dia dapat melihat itu semua dari sudut matanya.

Bodo amat. Bego banget mau mikirin apa kata orang.

Karel, yang berada di bus berbeda dengan mereka, memilih untuk menginap di rumah temannya, malam ini. Untuk beberapa saat, Keenan merasa cukup iri dengan Karel karena memiliki banyak teman, sedangkan Keenan masih saja sendiri.

Sudah sendiri dalam percintaan, sendiri pula dalam pertemanan. Nasib.

Harap maklum, dia anak baru.

"Pak, dia ikut saya turun. Kita tetanggaan, Bapak bisa lihat alamatnya di situ," ujar Keenan menunjuk ke arah buku petunjuk berisikan alamat-alamat para siswa yang kini pak sopir pegang. Bus ini kini sudah sampai di depan rumahnya, dan posisinya kini adalah menggendong Hana di punggungnya. Dia dapat merasakan aura dingin menyelimutinya, atas pandangan murid perempuan maupun murid laki-laki kepada mereka.

"Oh, yaudah, Mas," jawab Pak Sopir Bus tersenyum.

Keenan mengernyitkan dahi. Mas? Emangnya dia setua itu?

Dia masih belum paham bahwa Kak, Bang, Mas, Mbak, itu hanyalah formalitas untuk menghargai pelanggan.

Meskipun Keenan berulang kali berdecak sebal dan mengumpat di dalam hati karena ribetnya urusan yang tengah dia handel sekarang, yaitu mengantar Hana ke dalam rumahnya kemudian mengambil koper-koper miliknya dan Hana, namun akhirnya dia dapat bernapas lega setelah sampai di kamarnya, tempat paling nyaman di dunia, selain kamarnya yang di Oxford.

Kenapa Hana dia bawa ke rumahnya? Karena Mama dan Papa Hana menitip pesan kepada Karel, bahwa mereka tengah ada di luar kota untuk urusan keluarga dan tidak ada orang di rumah Hana. Kevin dan para IRT juga dibawa. Karena Karel curut itu juga sedang berada di luar, makanya dia menitipkan semuanya kepada Keenan.

Sehingga jadilah pesan berantai ini. Mama Hana ke Karel, Karel ke Keenan, dan Keenan ke Hana. Mantappu jiwa, minna-san.

Jam dinding menunjukkan pukul tiga malam. Meski mereka berangkat pulang dari lokasi study tour pada jam sembilan, tapi macet total mengulur waktu yang cukup panjang, sehingga mereka baru bisa sampai di rumah pada dini hari.

Mama, Papa, Bianca, dan para IRT pun tidak tampak, karena pastinya sudah tertidur daritadi. Keenan hanya sempat bertemu dengan Pak Satpam tadi, sebelum melewati pagar rumah. Beruntungnya, ada Pak Satpam yang bisa membantunya mengangkat barang-barangnya ke kamar.

Usai mandi dan mengganti pakaian, Keenan menghidupkan TV yang berada di dalam kamarnya, mencoba menghibur diri dengan FTV yang ada di channel TV, meski itu bukanlah tipenya. Lagipula jika dia tidur jam segini, dia akan kesulitan untuk bangun subuh nanti.

Pandangan Keenan tak sengaja jatuh kepada perempuan yang baru saja mengubah posisinya menjadi menyamping ke kanan. Tangannya menggantung ke lantai, tubuhnya sudah di ujung tempat tidur.

Keenan yang belum sempat menyisir rambut yang baru saja dia keramas tersebut, mengalihkan pandangannya ke TV, mencoba untuk tidak memandangi Hana.

Keenan melempar handuk kepalanya ke sembarang tempat, kemudian mengambil posisi di tepian tempat tidur. Tangannya mengangkat selimut berwarna biru tersebut untuk menutupi setengah tubuh Hana agar tak kedinginan, kemudian tangannya terangkat lagi untuk menyentuh tangan yang menggantung ke lantai tersebut.

Halus dan dingin. Jelas sekali, bahwa AC kamar Keenan mungkin membuat Hana kedinginan, sehingga telapak tangannya bisa sedingin ini. Jika dibalut dengan telapak tangan Keenan, telapak tangan Hana tersebut dapat menerima kehangatan dari lelaki tersebut.

"Oh God," Keenan menghela napas panjang. "What is happening with me?"

Tangannya masih menggenggam tangan Hana, seakan-akan mentransfer kehangatan miliknya ke tangan Hana. Wajah yang tertidur tersebut sukses membuatnya terpaku untuk beberapa menit, memandangi kelopak mata yang tertutup dan bulu mata yang panjang, salah satu hal yang paling Keenan sukai dari wajah Hana.

Dan dia baru mengetahui itu sejak di bus tadi.

Kenyamanan seperti kembali dia rasakan, setelah bertahun-tahun mencoba bangkit dari depresi dan melawan rasa sakitnya sendirian atas kehilangan plus pengkhianatan yang dilakukan oleh perempuan yang dia sayangi. Kenyamanan ketika melihat wajah Hana, kenyamanan ketika mengobrol dengan Hana meski hanya berisi obrolan tak penting dan lebih banyak perdebatan, kenyamanan ketika melihat senyuman Hana, kenyamanan ketika melihat bagaimana Hana memaafkannya saat di balkon waktu itu.

Keenan melepaskan tangannya, kemudian berjalan ke sofa yang berada di depan TV, di sudut kamarnya.

Tapi, dibalik semua kenyamanan itu, terdapat rasa takut yang cukup besar. Rasa takut bahwa dia akan membuat kesalahan sehingga dia akan dikhianati lagi. Rasa takut bahwa dia akan ditinggalkan lagi.

***

Hana mendengus sebal, menatap laki-laki di hadapannya yang tengah melipat kedua tangan di dada, menyandarkan tubuhnya ke dinding dengan kaos oblong putih polos yang dikenakannya.

Keenan mengangkat sebelah alisnya, mengisyaratkan tanda tanya kepada ekspresi Hana yang tampak ingin menerkamnya.

"Lo kenapa gak bangunin gue aja, sih?" tanya Hana. "Kalau gak dibangunin sedemikian rupa, gue gak bakalan bangun. Aslinya kebo banget."

Keenan terkekeh renyah. "Bagus kalau tau. Gue udah hidup tujuh belas tahun di dunia ini, keknya belum pernah deh, nemu orang sekebo lo."

Hana tak mempedulikan ucapan Keenan, kemudian bangkit dari tempat tidur lelaki tersebut, dan meraih hapenya yang ada di atas meja rias.

"Mau kemana lo?" tanya Keenan.

"Ya, pulang," jawab Hana menyisir rambutnya dengan sisir yang ada di atas meja rias Keenan.

"Mak bapak lo lagi gak di sini," kata Keenan mencomot apel yang sudah dia potong-potong di atas piring berwarna hitam tersebut. "Makanya lo di sini, giblik. Lo pikir gue gatel aja gitu, bawa lo ke sini tanpa alasan?"

"Anjir, bener. Ada urusan keluarga," kata Hana. "Terus, gue gimana, dong?"

"Apanya gimana?" tanya Keenan menyodorkan piring tersebut, bermaksud untuk menawarkan.

"Yーyaudah deh, gue ke rumah Sam aja. Lagian gue gak enak sama bokap nyokap lo," ujar Hana memasukkan hapenya ke dalam saku jaketnya.

"Apaan, sih? Udah, gak usah," sanggah Keenan.

"Gak usah gimana? Gue gak enak sama nyokapー"

"Terus, sama nyokap bokap Sam kenapa mau, dah?" tanya Keenan kesal sendiri, karena menurutnya, obrolan ini terlalu berbelit-belit.

"Ya, kan, mereka udah kayak nyokap bokap kedua buat gue," jawab Hana. "Malahan kayaknya, gue lebih punya banyak waktu sama mereka sejak kecil, daripada sama nyokap bokap gue yang asli."

Keenan terdiam sejenak, ketika melihat suasana dari obrolan ini tampaknya malah mengarah ke kesenduan.

"Bego banget, ah," Keenan memutar kedua bola matanya sebal. "Anggap aja nyokap bokap gue sebagai nyokap bokap lo juga. Lagian, mereka justru seneng lo ada di sini, dari dulu mereka pengen banget punya anak cewek sebagai anak pertama."

Hana mulai menyunggingkan senyumannya.

"Mungkin harusnya lo sama Karel tukeran sama Bianca."

Keenan kemudian sibuk mencari sesuatu di dalam lemarinya, kemudian menyodorkannya kepada Hana. "Hari ini lo pake baju gue dulu. Lagian, cuma buat hari ini."

Forever YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang