Pembacaku ke manaan???
Jangan lupa vote komennnn!
Hening beberapa saat. Halima menunggu jawaban apakah Mazhar menyukainya atau tidak. Ekspresi lelaki bermanik cokelat gelap itu tidak berubah, senantiasa datar seperti biasa dan tidak pernah tersenyum pada Halima walau sedikit.
"Menyukai dalam hal apa?" tanya Mazhar balik.
"Seperti Engku menyukai Kemuning dahulu."
"Perasaan kagum?"
Halima mengangguk. "Ya, semacam itulah."
"Kalau itu ... saya hanya kagum karena kau rancak," sahut Mazhar kemudian berlalu, lanjut membelah kayu bakarnya.
Halima tersenyum senang mendengarnya. Ia berdiri sekitar dua meter dari Mazhar. "Kenapa Engku menolak tawaran Kepala Desa untuk menikahi Kemuning?" tanyanya kemudian.
"Darimana engkau tahu tentang itu?" tanya Mazhar balik.
"Tadi saya bertemu Kemuning, dia banyak bercerita tentang Engku. Termasuk sebelum Engku memutuskan memakai penutup mata. Ternyata gadis-gadis di sini sudah pernah melihat mata Engku yang mereka bilang menggoda itu," ujar Halima.
" .... " Mazhar tidak merespons. Ia memilih diam sambil menyusun bilah-bilah kayu yang sudah ia belah.
"Saya mengizinkan Engku menikahi Kemuning," lanjut Halima.
Mazhar meloloskan helaan napas kasar. Tanpa menyahuti perkataan Halima, ia memikul kayu bakar itu masuk ke dalam rumah, lalu meletakkannya di dekat tungku dapur. Bolak-balik ia keluar masuk rumah untuk memindahkan semua bilah kayu bakar itu sampai peluh mengalir di dahi dan lehernya.
Setelah memindahkan semua kayu bakarnya, Mazhar segera membersihkan diri dengan mandi. Sedangkan Halima masih melihat-lihat sekeliling rumah Mazhar. Pemandangannya tampak indah dan sejuk di siang hari karena dikelilingi oleh pepohonan rimbun dan bunga-bunga liar yang tumbuh bebas di tanah.
Mazhar sudah selesai mandi. Ia melangkah keluar kamar mandi dan menoleh ke ruang tengah. Halima masih ada di rumahnya. Jemari lentiknya menyentuh barisan buku yang tertata rapi dalam rak usang buatan Mazhar sendiri. Halima menarik buku bersampul cokelat dan membukanya. Buku itu berisi cerita cinta yang ditulis tangan. Halima tertarik membaca tulisan rapi itu, ia mendudukkan diri di atas tikar anyaman dan mulai membaca buku tersebut.
Halaman demi halaman Halima baca, sesekali senyumnya terukir kala menemukan adegan romantis dalam cerita dan dirinya terbawa perasaan. Karena keasyikan membaca tulisan Mazhar, Halima tidak sadar kalau hari sudah mulai gelap. Mazhar sudah bersiap-siap hendak berangkat ke surau.
Halima menutup bukunya dan beranjak berdiri. "Boleh saya pinjam buku ini? Saya belum selesai membacanya," ujarnya pada Mazhar.
"Bawa saja," sahut Mazhar singkat.
Setelah mengunci pintu, mereka berjalan beriringan menelusuri jalan setapak menuju desa. Begitu sampai di surau, hujan tiba-tiba turun dengan sangat deras.
Hingga selesai salat Isya berjamaah, hujan belum juga reda dan masih deras. Satu per satu warga beranjak pulang menggunakan payung. Ada pula yang menerjang hujan tanpa peduli basah. Sebenarnya Halima juga ingin menerjang hujan, tetapi tidak bisa karena ia sedang membawa buku milik Mazhar. Ia pun duduk di pintu surau dan mulai membaca buku lagi.
Waktu sudah menunjukkan jam sembilan malam. Namun, sepertinya hujan akan awet karena belum juga berhenti. Halima sudah beberapa kali menguap, tapi masih betah membaca tiap halaman cerita romansa karya suaminya itu.
"Sudah tidak deras, ayo saya antar ke balai penginapan," ajak Mazhar.
Halima beranjak berdiri dan menatap halaman surau. Rintik hujan masih ada, tetapi sudah tidak sederas tadi. Ia menoleh pada Mazhar yang tengah membentang sorbannya. "Kita akan tetap basah sampai di balai, Engku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mazhar Alkhalifi ✓
Hayran KurguOrang-orang desa memanggilnya Engku Mazhar. Lelaki alim yang dimuliakan dan dianggap guru besar di desa Seduraja. Suatu hari, seorang gadis yang tidak ia kenal tiba-tiba memfitnah dan menuduh Mazhar telah melecehkannya. Namun, warga desa justru tida...