Jangan lupa votemen!!!
Ramaikan komentarnya doooong :)
Tiga bulan telah berlalu, Halima memulai kembali hidupnya tanpa Mazhar. Selama sebulan ia meneruskan dakwah suaminya melalui pesan suara di sosial media. Menyebarkan ajaran Islam yang telah diajarkan oleh suaminya seluas-luasnya. Kedua anaknya menjadi alasan utama Halima untuk bangkit dan menjadi wanita yang tegar. Akhir-akhir ini Halima sering mendapat undangan untuk mengisi kajian-kajian khusus untuk wanita. Khadijah dan Muhammad tentunya ia bawa karena tidak ingin merepotkan siapa pun.
Saat sedang sendiri, Halima masih sering terpikirkan suaminya. Andai jasadnya ditemukan, Halima masih bisa datang ke makamnya, tetapi sampai saat ini tidak ada kabar apa pun mengenai suaminya. Pihak keluarga Mazhar pun sudah pasrah dan menganggap Mazhar telah meninggal dunia.
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Halima segera beranjak membukakan pintu. Terlihat putri kecilnya tengah berdiri sambil menatap sendu ke arahnya.
"Ada apa, Sayang?" tanya Halima seraya berlutut di hadapan Khadijah. Ia terkejut saat menyentuh tubuh putrinya yang terasa panas.
"Abi di mana, Mi? Ija mau bertemu Abi," ujar Khadijah.
"Sabar, Nak ... belum saatnya Abi pulang," ujar Halima. Ia belum berani mengatakan pada Khadijah bahwa abinya telah tiada. Halima tidak mengerti harus menjelaskan seperti apa pada putrinya tentang kejadian yang sebenarnya.
"Telepon Abi, Umi ... Ija rindu Abi, Ija mau Abi pulang," rengek Khadijah.
"Nak, Abi kerja di tempat yang saaangat jauh. Jadi tidak bisa ditelepon," ujar Halima sambil menahan air mata. Entah kebohongan apalagi yang harus ia rangkai untuk menenangkan kerinduan Khadijah terhadap abinya.
Khadijah akhirnya menangis karena terlalu merindukan abinya. Halima langsung memeluk, lalu menggendong putrinya itu sambil menahan tangis. Dirinya tidak ingin terlihat lemah dan rapuh lagi di hadapan sang anak.
"Sssh ... sabar, Sayang ... nanti kita salat ya, lalu berdoa supaya Abi cepat pulang. Ingat apa kata Abi, kan? Jadi manusia harus apa, hm?"
"Harus ... sabar ...," sahut Khadijah sambil terisak.
Halima tersenyum, lalu mengecup pipi Khadijah. "Pintar sekali anak Umi."
Setelah lima belas menit, akhirnya Khadijah berhenti menangis. Halima memberinya obat penurun panas sebelum mengajarkannya berwudu, lalu mengajaknya salat. Khadijah hanya mengikuti gerakan salat uminya. Selesai salat, Khadijah menadahkan kedua tangannya.
"Ya Allah ... Ija rindu sekali dengan Abi. Ija ingin Abi cepat pulang. Ija janji, kalau nanti Abi pulang, Ija akan lebih rajin salat. Ija juga akan belajar mengaji, Ya Allah. Ija mohon, Ija ingin bertemu dengan Abi ...."
Air mata Halima menetes mendengar doa Khadijah. Ia buru-buru menghapus air matanya saat Khadijah selesai berdoa dan berpindah ke hadapannya. Khadijah meraih tangan Halima, lalu mengecupnya. Halima membalas dengan mengecup ubun-ubun putri kecilnya itu.
***
Sorenya di hari Minggu, Halima tiba-tiba dijemput dan dibawa pulang ke rumah orang tuanya. Tak lama setelah Halima sampai di rumah orang tuanya, satu unit mobil datang. Halima tidak asing dengan mobil tersebut. Ya, itu adalah mobil ayah mertuanya. Ja'far datang bersama putra bungsunya, Javas.
Halima diminta agar duduk dan ikut serta dalam pembicaraan yang akan dimulai antara kedua keluarga tersebut. Cukup lama mereka mengobrol dan membahas hal-hal yang ringan. Sampai akhirnya Ja'far menghela napas panjang dan suasananya mendadak serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mazhar Alkhalifi ✓
Fiksi PenggemarOrang-orang desa memanggilnya Engku Mazhar. Lelaki alim yang dimuliakan dan dianggap guru besar di desa Seduraja. Suatu hari, seorang gadis yang tidak ia kenal tiba-tiba memfitnah dan menuduh Mazhar telah melecehkannya. Namun, warga desa justru tida...