🌺 • Kain Penutup Mata

17.2K 1.3K 104
                                    

Jangan lupa vote dan komentarnyaaaa!

Selamat membaca!





Setelah Halima bercerita bahwa dalang di balik semua fitnah yang Halima lontarkan adalah rencana Malwiz, Mazhar hanya bisa menghela napas panjang dan memaafkannya begitu saja.

Halima sampai heran. Mazhar sangat berbesar hati dan tidak dendam sama sekali pada saudara kembarnya itu. Pembawaannya sangat tenang. Bahkan saat difitnah dan disuruh menikahi Halima yang merupakan perempuan yang baru dikenalnya pun Mazhar tidak memperlihatkan ekspresi tegang atau marah. Ia membiarkan semuanya mengalir seperti air. Mazhar meyakini bahwa segala sesuatu yang telah terjadi merupakan takdir Allah yang harus ia terima dengan lapang.

Mentari sudah pulang ke ufuk barat. Azan Magrib terdengar jelas dari surau. Mazhar hendak bergegas ke sana untuk mengimami salat magrib.

"Mau ke mana?" tanya Halima sambil buru-buru menghampiri Mazhar.

"Mengimami salat Magrib di surau," sahut Mazhar sambil bergerak membuka pintu.

Menarik lengan baju Mazhar. "Saya takut sendirian di sini."

"Ayo ke surau bersama."

Halima menggeleng. "Saya tidak mau bertemu orang-orang desa. Saya sudah dipandang buruk karena memfitnah kamu."

"Saya sudah ditunggu jamaah. Kalau Uni tidak mau ikut, tinggallah di sini, nanti habis Isya saya kembali."

"Tapi saya takut sendirian."

"Takut apa? Tidak perlu takut, ada Allah yang temani Uni. Kunci saja pintunya dari dalam. Saya pergi dulu, assalamualaikum." Mazhar melangkah keluar rumah dan mengambil obor yang tertancap di dekat lubang pintu.

"Waalaikumsalam." Halima menutup dan mengunci pintunya saat Mazhar sudah agak jauh dari rumah. Bulu kuduknya berdiri, suasana rumah Mazhar yang sepi dan hanya diterangi beberapa obor membuatnya agak ngeri. Terlebih posisinya yang berada di pelosok dan jauh dari pemukiman warga.

Waktu Magrib dan Isya terasa sangat lama bagi Halima. Suara jangkrik dan burung hantu menambah kesan seram di rumah yang memiliki penerangan minim itu. Halima melipat mukena dan sajadah kecil yang ia bawa dalam tas ranselnya. Ia duduk meringkuk di atas tikar anyaman.

Tak lama kemudian, seseorang mengetuk pintu. Halima tanpa pikir panjang langsung bergegas membukakan pintu. Hidungnya meloloskan napas lega saat melihat Mazhar berdiri di depan pintu sambil menenteng plastik hitam.

"Assalamualaikum," salam pria itu.

"Waalaikumsalam." Halima menyingkir dari ambang pintu, membiarkan Mazhar masuk ke dalam rumah, lalu menutup kembali pintunya.

Mazhar langsung melengos ke dapur dan mengambil dua piring seng, gelas bambu, dan ceret plastik berisi air. Meletakkannya di atas lantai yang berlapis tikar anyaman. "Ayo makan," tawarnya sambil membuka bungkusan yang ia bawa tadi.

Kebetulan Halima juga merasa lapar. Ia pun mendekat dan mengambil posisi duduk di hadapan Mazhar. Halima menatap nasi Padang yang terletak di piring. "Sendoknya mana?" tanyanya pada Mazhar.

"Tidak ada, makan saja pakai tangan," sahut Mazhar sambil mencelupkan tangannya ke dalam mangkuk berisi air mentah.

Halima melongo melihat Mazhar yang makan dengan tangannya langsung. Di kota, ia tidak pernah melakukan itu. Halima terbiasa makan dengan sendok dan garpu.

Melihat Halima yang tak kunjung menyentuh makanannya, Mazhar berhenti menyuap makanan ke mulut. "Nasi Padang itu nikmat kalau dimakan menggunakan tangan langsung. Beda rasanya dengan menggunakan sendok. Makan menggunakan tangan juga dianjurkan oleh Nabi," ujarnya.

Mazhar Alkhalifi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang