🌺 • Sabar dan Ikhlas

8K 754 26
                                    

Jangan lupa vote komentaaaaar biar aku semangat up tiap harinyaaaa!

Selamat membaca!








Empat hari berlalu, Mazhar sudah melewati masa kritis. Tetapi belum sadar dari pingsannya. Selama empat hari itu juga Halima menginap di rumah sakit menemaninya. Beberapa kali mamanya datang membawakan makanan untuk Halima. Sebenarnya Halima tidak berselera makan sama sekali, tetapi karena dirinya sedang hamil, mau tidak mau ia harus makan demi kesehatan janinnya.

Malamnya, Halima baru selesai melaksanakan salat Isya di musala rumah sakit. Dari jauh ia melihat pintu ruangan Mazhar terbuka sedikit. Halima tidak curiga, ia berpikir mungkin ada suster atau dokter yang masuk dan hendak memeriksa keadaan Mazhar. Tetapi saat membuka pintu, kedua mata Halima membulat. Seseorang berpakaian serba hitam dan memakai masker hendak melepas selang oksigen Mazhar.

"Siapa kamu?!" tanya Halima sambil melangkah masuk.

Lelaki itu gelagapan dan hendak kabur, tapi Halima menarik lengannya. Saat tatap mereka bertemu, Halima merasa tidak asing dengan mata itu. Saat hendak membuka masker penutup wajahnya, lelaki misterius itu langsung mendorong Halima dan langsung kabur.

Melupakan lelaki misterius tadi, Halima berjalan mendekati brankar tempat Mazhar berbaring. Untunglah ia datang di waktu yang tepat, lelaki itu belum sempat melakukan apa-apa. Tetapi masih ada yang mengganjal. Siapa lelaki itu? Mengapa matanya terlihat familiar? Batin Halima bertanya-tanya.

"Cepatlah bangun, Engku," ujar Halima sambil mengusap kepala Mazhar, lalu mengecup kening suaminya itu. Padahal baru dua hari, tapi rasanya sudah lama sekali ia tidak mendengar suara Mazhar. Halima sudah biasa mendengar panggilan sayang dan kata-kata manis dari Mazhar. Begitu tidak mendengarnya lagi, ia jadi merasa rindu dan kesepian.

Halima naik ke brankar, lalu merebahkan diri di samping kiri suaminya. Brankar di ruang VIP cukup luas untuk ditiduri berdua. Halima memiringkan tubuhnya. Mengusap lembut pipi Mazhar yang tirus. "Jangan tidur terlalu lama, saya rindu," ujarnya seraya meletakkan tangannya di dada Mazhar.

Saat Halima hampir terlelap, ia merasakan sentuhan di tangannya. Halima pikir itu mimpi, tapi sentuhannya terasa nyata. Ia pun membuka mata dan terkejut karena tangan Mazhar menggenggam tangannya. Halima beringsut dan menatap wajah Mazhar, lelaki itu akhirnya membuka matanya.

"Engku?! Alhamdulillah, akhirnya Engku bangun. Saya akan panggilkan dokter." Halima hendak beranjak, tapi Mazhar tidak melepas genggaman tangannya. Matanya seolah meminta Halima untuk tidak pergi ke mana-mana.

"Bahkan bidadari surga pun menyerupai istriku," gumam Mazhar dengan suara yang masih serak.

Halima mengernyit heran. "Bidadari surga? Ini di rumah sakit dan Engku belum meninggal," ujarnya pada Mazhar.

Mazhar mengucek matanya, lalu menatap istrinya. "Hali?"

"Iya, ini Hali istri Engku. Saya akan panggilkan dokter untuk memeriksa ke sini." Halima melepas pegangan tangan Mazhar di tangannya, lalu bergegas keluar memanggil dokter.

***

Usai menginap beberapa hari lagi setelah siuman, Mazhar akhirnya pulih dan diperbolehkan pulang ke rumah. Ia mengernyit heran karena di sekitar rumahnya dijaga oleh beberapa orang.

Mazhar Alkhalifi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang