🌺 • Balai Desa

7.8K 750 61
                                    

Jangan lupa vomen.











Pagi-pagi sebelum subuh, Mazhar sudah bangun dan baru saja selesai mandi. Sedangkan istrinya masih tertidur pulas. Mazhar yang hanya mengenakan handuk itu berjalan, lalu duduk di samping Halima. Diusapnya rambut Halima agak berantakan sebelum mengecup keningnya.

Sentuhan Mazhar membuat Halima terbangun dari tidurnya. Ia mengucek matanya yang masih mengantuk. "Engku wangi sekali," ujarnya sambil beringsut memeluk pinggang Mazhar dan membenamkan wajahnya di perut suaminya yang terekspos.

"Bangunlah, sebentar lagi azan," ujar Mazhar sambil mengusap pipi Halima.

Bukannya bangun, Halima malah usil mengecup perut Mazhar. Membuat lelaki itu menahan napas karena geli.

Mazhar menutup bibir Halima dengan tangan. "Jangan nakal," tegurnya.

Halima melirik jam sekilas. "Azan masih satu jam lagi, santai saja," ujarnya.

Menyibak selimut yang menutupi tubuh istrinya, lalu menggendongnya bak koala dan membawanya ke kamar mandi. Di sana, Halima enggan turun dari gendongan Mazhar. Mazhar mendudukkannya di dekat wastafel. Halima masih tetap memeluk leher Mazhar dan membenamkan wajahnya di ceruk leher suaminya.

"Jangan tidur lagi, Hali," tegur Mazhar sambil menepuk bahu Halima.

"Eung ... tapi saya masih mengantuk," ujar Halima dengan suara serak dan manja.

Gemas, Mazhar pun menggigit cuping telinga Halima hingga membuat istrinya itu mengaduh dan langsung melepas pelukannya. Melihat ekspresi sebal Halima, Mazhar malah tersenyum sambil mengusap pipi Halima yang terlihat agak tembam semenjak hamil.

"Jangan cemberut begitu. Segeralah mandi supaya kantuknya hilang," ujar Mazhar.

Halima akhirnya beranjak mandi dengan langkah lunglai. Sementara istrinya mandi, Mazhar bersiap-siap hendak ke masjid, hendak memimpin tadarus sebelum salat subuh berjamaah.

Selesai Halima mandi, Mazhar sudah hendak berangkat. Melihat suaminya yang hendak pergi, Halima langsung menangis. "Kenapa Engku tidak menunggu saya?" tanyanya dengan linangan air mata yang membasahi kedua pipinya.

Mazhar tentu terkejut karena Halima tiba-tiba menangis. Ia urung membuka pintu dan langsung menghampiri istrinya yang masih memakai handuk itu. "Angin di luar sangat dingin, Hali salat di rumah saja."

Halima menggeleng ribut. "Saya mau tadarus di surau juga."

"Tadarusnya mungkin sudah dimulai dan sebentar lagi azan, jadi Hali tinggal di rumah saja."

Halima malah semakin menangis dan merengek tidak ingin ditinggal di rumah sendirian. Karena istrinya menangis terus, Mazhar akhirnya membolehkannya ikut ke surau.

Tetapi sesampainya di surau, tadarus sudah  selesai dan muazin bersiap hendak azan. Halima menatap Mazhar yang juga menatap ke arahnya. Halima melengkungkan bibirnya ke bawah, hendak menangis lagi.

Mazhar menggeleng, mengisyaratkan Halima agar tidak menangis di surau karena banyak warga yang datang, hendak salat di sana. Halima langsung berlalu, masuk ke barisan perempuan yang terbatasi oleh kain berwarna hijau.

Selesai salat, jamaah satu per satu sudah kembali ke rumah masing-masing. Mazhar menunggu Halima di luar. Namun, sampai semua jamaah pulang, istrinya itu tak kunjung keluar. Mazhar pun kembali masuk ke dalam surau. Mendatangi istrinya yang masih duduk diam dengan mata berair.

Mazhar Alkhalifi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang