Mohon bersabar saat membaca part ini.
Halima dan mamanya sudah selesai berbelanja dan sedang dalam perjalanan pulang. Selama perjalanan, Halima menceritakan tentang suaminya yang saat ini tidak mengisi kajian karena sedang sakit.
Setelah mendengar cerita Halima, Tiara hanya tersenyum. "Kamu masih datang bulan?" tanyanya kemudian.
Halima berpikir sejenak sembari menghitung kapan terakhir kali ia datang bulan. "Sudah telat tiga Minggu, Ma," jawabnya.
"Nah! Tidak salah lagi, Khadijah akan segera memiliki adik," ujar Tiara sambil mengusap-usap perut Halima yang masih rata.
"Tapi apa hubungannya dengan suami Halima?"
"Nak, bukan ibu hamil saja yang bisa mengidam atau morning sickness. Suami pun bisa seperti itu di saat istrinya sedang hamil."
Halima manggut-manggut. "Apa aku beli testpack saja untuk memastikannya?"
Tiara mengangguk setuju. "Ide bagus, kita akan singgah di apotik sebelum pulang."
Beberapa saat kemudian, Tiara melihat ada apotik di pinggir jalan. Ia segera menepikan mobil tepat di depan apotik tersebut. Setelah mobil terparkir, Halima turun, kemudian melangkah masuk ke dalam apotik untuk membeli testpack. Dalam hatinya sudah berbunga-bunga dan berharap kalau dia benar-benar hamil.
Sampainya di rumah, Halima tidak langsung memberitahukan pada suaminya. Ia diam-diam memeriksa kehamilannya dengan testpack, memastikan apakah perkataan mamanya benar atau tidak.
Siangnya usai salat Zuhur, Halima menyiapkan makanan untuk makan siang. Gulai tunjang yang diinginkan suaminya juga sudah ia buat. Ia menyiapkan semuanya sambil tersenyum bahagia.
Saat hendak membawa makanannya ke kamar, Mazhar datang ke dapur sambil menggandeng Khadijah.
"Sudah baikan?" tanya Halima.
Mazhar mengangguk. "Lumayan." Lalu mendudukkan Khadijah di kursi. "Makan di sini saja."
"Baiklah," sahut Halima sambil meletakkan kembali makanannya di meja makan.
Hening beberapa saat, Halima memerhatikan suaminya yang sedang makan. Mazhar terlihat sangat lahap. Cara makannya tidak pernah berubah. Saat di rumah, Mazhar selalu makan dengan tangannya langsung karena mengedepankan sunnah. Halima berharap kali ini suaminya tidak memuntahkan makanannya lagi seperti sebelum-sebelumnya karena mual.
Usai makan, mereka tak langsung beranjak. Khadijah menoleh pada uminya dan mengutarakan keinginannya memiliki seorang adik. Halima tentu terkejut karena tiba-tiba Khadijah menginginkan adik.
"Khadijah akan punya adik secepatnya," ujar Halima sambil mengusap rambut Khadijah.
Khadijah menatap uminya dengan wajah cemberut. "Tidak bisa sekalang saja, Umi?"
"Tidak bisa, Sayang. Khadijah harus sabar, Khadijah mau menunggu adik, kan?"
Khadijah mengangguk. "Mau, adiknya di dalam pelut Umi, kan? Nanti pelut Umi besal sepelti pelut Bibi Muning kalena di dalamnya ada adik."
Mendengar itu, Halima melirik sekilas pada suaminya, lalu kembali menatap Khadijah sambil tersenyum. "Pintar sekali, cantiknya siapa ini, hm?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mazhar Alkhalifi ✓
FanfictionOrang-orang desa memanggilnya Engku Mazhar. Lelaki alim yang dimuliakan dan dianggap guru besar di desa Seduraja. Suatu hari, seorang gadis yang tidak ia kenal tiba-tiba memfitnah dan menuduh Mazhar telah melecehkannya. Namun, warga desa justru tida...