🌺 • Jawaban Tersirat

10.2K 1K 55
                                    

Jangan lupa vote dan komentarnya, yaaaa!

Tak terasa, sudah seminggu Halima tinggal di desa dan menjadi istri Mazhar. Ia mulai betah berada di desa Seduraja. Namun, ada rasa rindu juga pada kota, terutama orang tuanya. Tentang pekerjaan, Halima memang sudah menambah masa cuti. Awalnya ia hanya ingin cuti beberapa hari karena begitu berhasil menjebak Mazhar, ia akan langsung kembali ke kota. Tetapi kejadian di luar dugaan malah terjadi sehingga dirinya tertahan di desa dan tidak bisa asal pergi karena sudah memiliki suami.

Malwiz pun tidak pernah lagi menghubunginya. Tiap kali Halima mencoba menghubungi duluan, teleponnya tidak pernah tersambung. Pesan darinya juga tidak pernah dibalas oleh pria itu.

"Ayo ke rumah makan nanti malam," ajak Mazhar tiba-tiba. Ia sedang bersama Halima di teras surau, habis melaksanakan salat Ashar berjamaah.

Halima menoleh cepat. "Rumah makan?"

Mazhar mengangguk. "Iya, sekalian melihat telaga hijau. Indah nian pemandangan di sana kalau malam hari. Mau, kan?"

"Mau!" sahut Halima disertai anggukan antusias.

Malamnya, Halima sudah bersiap-siap di balai penginapan. Mazhar akan menjemputnya jam delapan. Halima memoles wajahnya dengan bedak tipis. Tidak lupa memoles lipstik merah ke bibirnya. Ia bersemangat sekali walaupun hanya diajak makan malam.

Selesai berdandan, Halima keluar dari kamar dan menunggu di teras. Senyumnya terukir kala melihat Mazhar datang. Laki-laki tampan itu menaiki tangga balai dan menghampiri Halima yang sudah menunggunya.

"Assalamualaikum," salam Mazhar.

"Waalaikumsalam, Engku," balas Halima.

Di balik kain penutup mata, Mazhar menatap bibir Halima yang merah merona. Tangannya terulur dan langsung mengusap bibir merah itu. Membuat Halima terkejut dan hendak mundur, tapi tak kuasa karena pantatnya tertahan pinggiran teras.

"Kenapa--"

"Terlalu merah," potong Mazhar yang masih mengusap bibir Halima. "tidak boleh bersolek terlalu mencolok saat keluar rumah, tabarruj namanya."

"Saya pakai supaya tidak terlihat pucat," ujar Halima sambil menyingkirkan tangan Mazhar dari bibirnya. Lalu mengambil ponsel dan membuka kamera, menatap bayangan wajahnya. Rona merah di bibirnya menjadi samar setelah dihapus.

"Siapa bilang pucat? Tanpa berias pun Halima senantiasa rancak."

Blush!

Semburat merah menjalari pipi Halima. Ia langsung menunduk dan berjalan mendahului Mazhar. "Ayo pergi, nanti kemalaman."

***

Setelah beberapa menit naik delman, akhirnya mereka sampai di telaga hijau. Suasana agak ramai karena malam Minggu. Pantaslah disebut telaga hijau, karena rumah-rumah yang ada di sana semuanya berwarna hijau. Tanahnya pun diselimuti rumput dan berbagai jenis bunga yang tertata rapi dan terawat.

"Indah sekali pemandangannya, Engku," kata Halima. Mereka sedang makan di warung makan outdoor dengan pemandangan telaga yang sisinya dikelilingi lampu taman.

"Engkau jauh lebih indah," gumam Mazhar.

Halima menoleh cepat pada suaminya. "Apa?"

"Tidak, bukan apa-apa," elak Mazhar, lalu menyuap makanan ke mulut.

"Engku aneh akhir-akhir ini. Seringkali mengucap kata rayuan. Seperti orang cabul," celetuk Halima, menatap Mazhar sambil menopang dagu dengan telapak tangan.

Mazhar Alkhalifi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang