🌺 • Minggu di Mansion

6.7K 686 57
                                    

Banyakin komen bisa gak?












Tiba saatnya Kemuning akan pergi kembali ke desanya untuk menikah dengan seorang saudagar kaya dan menjadi istri keempat. Dirinya baru tiba di stasiun kereta. Dalam hati ia masih bersedih dan merasa berat. Dia tidak ingin dijodohkan, tetapi dirinya hanyalah seorang anak yang patuh dan tidak berani menentang kehendak orang tua.

Tiket kereta sudah ada di tangan, Kemuning akan segera memasuki gerbong kereta. Namun, baru saja hendak melangkah, seseorang menarik lengannya, lalu membawa Kemuning pergi.

"Malwiz?" gumam Kemuning, mengenali lelaki yang menutupi wajahnya dengan masker, topi, dan kacamata hitam itu karena wangi parfumnya yang familiar. Kemuning berusaha melepas pegangan Malwiz di lengannya, tapi tidak bisa. "Lepaskan, saya akan ketinggalan kereta!" pekiknya.

Malwiz tidak hirau dan terus menarik Kemuning keluar dari stasiun. Sampai di luar, Malwiz baru melepas pegangannya di lengan Kemuning. Dirinya menatap tajam pada gadis itu. "Berani-beraninya kau pergi tanpa berpamitan dengan saya."

"Saya harus kembali ke stasiun, kereta saya sebentar lagi berangkat," ujar Kemuning yang hendak berlalu.

Namun, Malwiz merengkuh pinggang Kemuning hingga tubuh mereka menempel. Rengkuhan Malwiz mengerat kala gadis itu memberontak dan berusaha mendorongnya.

"Diam, Kemuning!" tekan Malwiz dengan suara yang agak tinggi dan berhasil membuat Kemuning terdiam dengan mata berkaca-kaca. Malwiz mendengkus kasar, seperti ada tangan tak kasar mata yang meremas hatinya saat cairan bening mengalir di pipi Kemuning.

"Kau tidak boleh menikah dengan orang lain. Apalagi dengan lelaki tua yang sudah punya tiga istri," ujar Malwiz sambil melepas pelukannya.

Kemuning memberanikan diri menatap Malwiz. "Kenapa? Kenapa saya tidak boleh menikah dengan orang lain?" tanyanya.

"Apa kau mau jadi istri keempat? Kau bahagia? Apa memang kau suka lelaki tua yang sudah beristri?" Malwiz balik menanyai Kemuning bertubi-tubi.

"Iya, saya bahagia. Jadi jangan halangi saya pergi," balas Kemuning ketus dan langsung beranjak pergi.

Malwiz lagi-lagi menahan pergerakan bunga desa Seduraja itu. "Jangan berdusta. Saya tahu kau menyukai saya," ujarnya.

Kemuning tersenyum samar. "Saya memang menyukaimu karena kau seorang musisi."

"Tidak, bukan rasa suka yang seperti itu. Saya sudah tahu kalau perasaan yang kau memiliki itu bukan hanya sebatas penggemar yang menyukai idolanya, tetapi perasaan suka yang lebih pribadi dan mendalam."

Kemuning terkejut, dia belum pernah menceritakan tentang perasaannya terhadap Malwiz selain kepada Halima. Tetapi Kemuning tidak yakin kalau Halima yang memberi tahu pada Halima tentang sesuatu yang ia anggap rahasia tersebut.

"Jangan sok tahu, saya tidak pernah menyukaimu lebih dari sebatas penggemar," sahut Kemuning sambil menunduk.

"Berhenti berbohong, Kemuning. Saya sudah mendengar pembicaraanmu dan Halima. Saya mendengar pengakuanmu tentang perasaanmu."

Kemuning mengepal tangannya kuat dan semakin menunduk dalam, menahan rasa malu. "Tolong ... biarkan saya pergi. Saya sengaja pergi tanpa berpamitan padamu karena kalau melihatmu sebelum pergi membuat saya semakin sakit."

Malwiz mendengkus kasar. Dirinya tetap tidak membiarkan Kemuning kembali ke dalam stasiun dan malah menarik gadis itu ke dekat motornya. Malwiz langsung memasangkan helm pada Kemuning dan meminta agar Kemuning naik ke motornya. Awalnya Kemuning menolak, tetapi Malwiz memaksa sampai akhirnya Kemuning terpaksa ikut.

Mazhar Alkhalifi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang