Jangan lupa vote dan komentarrr!
Part ini mengandung kebaperan yang ... dahlah, baca sendiri ajaaaa!
Selamat membaca!!
Usia pernikahan Mazhar dan Halima sudah masuk satu bulan. Saat ini waktu sudah menunjukkan jam sebelas malam. Mazhar baru pulang usai mengisi tausiyah di tiga tempat. Ia membawa mobil sendiri kali ini. Halima tidak bisa ikut karena nyeri datang bulannya kambuh tadi pagi.
Saat membuka pintu kamar, Mazhar mendengar tangisan Halima. Istrinya itu tengah berbaring meringkuk di atas kasur sambil menangis. Tanpa mengucap salam, Mazhar langsung masuk dan menghampiri Halima sambil khawatir. "Ada apa? Kenapa menangis?" tanyanya.
Halima terkejut mendengar suara Mazhar. "Engku? Kapan datang?" tanyanya dan hendak bangun dari pembaringan.
Mazhar menahan tubuh Halima agar tetap berbaring. "Tidak usah bangun. Saya baru saja datang dan melihat Hali menangis. Ada apa?" Mazhar membuat panggilan baru dengan memotong nama Halima menjadi Hali.
"Nyeri perut saya semakin parah. Rasanya sakit seperti ditusuk-tusuk," ujar Halima sambil terus memegangi perutnya. Padahal datang bulannya sudah hampir selesai, tapi masih terasa nyeri.
"Ke rumah sakit saja, biar saya antar."
Halima menggeleng cepat. "Tidak perlu. Ini biasa terjadi saat saya datang bulan."
"Lalu, apa yang bisa meredakan sakitnya?" tanya Mazhar.
"Tangan Engku hangat?" tanya Halima balik.
Mazhar mengulurkan tangannya. "Rasakan sendiri."
Halima menyambut uluran itu. Tangan Mazhar sangat hangat. Halima menaikkan bajunya, lalu menarik tangan Mazhar ke perutnya yang masih nyeri.
Sementara Mazhar merasa panas dingin. Bagaimana tidak, tangannya bersentuhan langsung dengan kulit perut Halima. Telapak tangannya yang kasar bertemu dengan permukaan kulit Halima yang mulus bak kulit bayi.
"Tidak salahkah Hali melakukan ini?" tanya Mazhar.
Halima tidak menjawab. Matanya terpejam dengan kening yang sesekali mengerut menahan sakit.
Di satu sisi Mazhar senang karena Halima sudah tidak menangis dan bisa tidur. Namun, di sisi lain ia juga tidak bisa menahan debaran jantungnya yang menjadi lebih cepat dari biasanya. Tangan Mazhar sama sekali tidak bergerak, menjadi kompres yang menghangatkan perut Halima.
Dirasa Halima sudah benar-benar pulas, Mazhar menarik tangannya dan membenarkan baju Halima agar perutnya tertutup. Ia beranjak bangun untuk berganti pakaian.
***
Keesokan harinya, Halima baru bangun saat matahari sudah tinggi. Ia terkejut melihat jam dinding yang menunjukkan jam sebelas siang. Halima langsung bergegas dari tempat tidur menuju kamar mandi. Sekalian mandi bersih karena ia sudah tidak mengeluarkan darah atau flek.
Selesai dari kamar mandi dan berpakaian, ia hendak pergi ke dapur. Halima merasa bersalah karena tidak bangun pagi, ia takut dianggap menantu tidak becus karena bangun siang.
Tibanya di dapur, Halima melihat Mazhar. Suaminya tengah memasak untuk menu makan siang nanti, mumpung sedang tidak ada jadwal tausiyah. Halima mendekat, lalu berdiri di samping Mazhar. "Kenapa tidak membangunkan saya?" tanyanya.
"Masih nyeri perut?" tanya Mazhar balik.
Halima menggeleng. "Tidak. Datang bulannya sudah selesai."
"Alhamdulillah. Saya tidak membangunkan karena Hali terlihat sangat pulas. Pun Hali sedang tidak salat, jadi saya biarkan saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mazhar Alkhalifi ✓
FanficOrang-orang desa memanggilnya Engku Mazhar. Lelaki alim yang dimuliakan dan dianggap guru besar di desa Seduraja. Suatu hari, seorang gadis yang tidak ia kenal tiba-tiba memfitnah dan menuduh Mazhar telah melecehkannya. Namun, warga desa justru tida...