end.

360 30 1
                                    


"Shir.. ini darah siapa?"

Bahkan untuk menjawab pun, Shira tidak kuasa untuk membuka mulutnya sendiri.

"Pandu udah on the way kesini. Kalian mending jangan deket disini, kita belum tau itu darah siapa."

Aresha menoleh. Laki-laki tinggi yang lama bersahabat dengan mesin itu memghampiri dua perempuan yang masih menatap kosong darah yang tercecer disana.

"Shir, ayo–"

Denan menghela nafasnya. Aresha dengan kelembutannya pun tidak bisa mengajak perempuan ini beranjak dari posisinya-menatap nanar banyaknya darah di lantai.

Tidak peduli bau amis yang mengganggu, Aresha tetap membujuk temannya itu untuk menjauh terlebih dahulu—khawatir jika mereka merusak tempat kejadian perkaranya.

"Mbak Shira, ayo keluar dulu. Alana bentar lagi kesini kok."

Itu suara bariton milik Denan. Dia sengaja menyetarakan tingginya sambil melembutkan nada suaranya-berharap Shira akan mendengarkannya.

Sebelum Aresha kembali mengajak, perempuan berambut panjang itu lebih dulu melangkahkan kakinya.

"Shir! Jangan masuk–"

"Mbak Res, biarin aja. Nanti jelaskan ke Pandu baik baik mbak Shira ngapain," putus Denan. Dia lebih dulu menahan Aresha sebelum perempuan itu menarik temannya yang, entahlah. Tatapan netranya sulit di artikan.

Shira tidak mendengarkan—lebih tepatnya tidak mau.

Bolehkah dirinya egois? Saat ini saja.

Bercak darah di lantai benar benar tidak membuatnya takut, bahkan kakinya semakin melangkah jauh.

Dia mendekati satu nakas sederhana. Satu satunya nakas di kamar itu.

Langkahnya berhenti, tepat di depan nakas tersebut.

Lima detik sebelum kristal beningnya mengalir,

Dia benar benar menyesal satu jam nya terbuang sia-sia.

































Satu jam sebelum Shira datang.

Saka menggeram. Dia muak dengan wajah milik perempuan di depannya.

Iya, satu satunya perempuan yang memanggilnya dengan sebutan "Bas" hanyalah Arum, mantan kekasihnya.

"Kenapa lo bisa disini?"

Tangan kanannya mengepal erat. Dia bahkan sudah berharap tidak melihat orang-orang gila ini lagi di hadapannya.

Bahkan setelah pertanyaannya itu pun, Arum masih memasang senyum dengan tangannya yang terlipat di depan dadanya. Terlihat santai-terlalu santai malah.

"Jawab gua!"

"Ayah bilang cukup bermain main dengan dirimu yang bukan kamu, Bas."

Arum berdiri. Dia menekan tombol di bola seukuran bola tennis, lantas melemparnya ke arah Saka.

"Apa kamu gak kangen sama dia, Bas?"

Bagian atas bola itu terbuka, menampilkan hologram biru tepat di depan tubuh Saka.

"Arum!"

Saka menutup matanya, beringsut mundur sebelum netranya benar benar menangkap foto di dalam hologram itu.

"Bas, jangan teriak dong. Apa kamu gak mau nostalgia dengan ini?"

Saka tidak membuka matanya. Malah, tangan kanannya benar benar ia gunakan untuk menutup matanya.

melogika ; Jaemin Yeji ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang