Bab 18

38 7 0
                                    

Suasana tengah malam hari ini cukup sunyi. Semua pasien sudah tertidur, begitupun dengan Letta dan Alan. Tetapi tidak dengan Andrea, entah mengapa rasanya ia merasa gusar malam ini. Ia merasakan suatu firasat buruk yang akan terjadi. Sudah hampir satu minggu tetapi Andrew masih belum bangun. Hasil MRI dan CT Scan juga tak mendapati masalah apapun.

Andrea mencoba menenangkan dirinya. 15 menit perasaan Andrea sedikit tenang, ia baru saja ingin terlelap sebelum mendengar suara, keributan yang terjadi di depan ruangan. Seperti suara orang berlari sambil berteriak. Seorang perawat membuka ruangan mereka dengan nafas terengah-engah membuat Letta dan Alan terbangun.

"Pasien .."

Sang perawat menjelaskan bahwa monitor pasien tak lagi menunjukkan grafik melainkan sebuah garis lurus. Letta, Alan dan Andrea segera berlari menuju ruangan Andrew. Tidak! Andrew tak boleh pergi!

Mereka ditahan oleh seorang perawat lain saat akan memasuki ruangan. Para dokter menyiapkan alat kejut jantung. Letta menangis histeris. Kali pertama, kejut jantung itu tak terjadi apapun, kali kedua masih dengan hasil yang sama.

Alan benar-benar berharap di hasil ketiga, monitor akan kembali menunjukkan grafik. Namun, alam seolah tak memihaknya. Monitor itu tetap menampilkan sebuah garis lurus. Andrea menutup matanya, tak kuasa melihat apa yang sedang terjadi.

Dokter menggunakan cara lain yaitu memompa jantungnya secara manual dan nafas manual. Tetapi hal itu juga tetap tak berguna. Selama hampir 20 menit dokter mengusahakan yang terbaik, namun, semuanya terbuang percuma. Dokter keluar dengan raut risau.

"Dok! Bagaimana?" Tanya Alan.

"Kami sudah mengusahakan yang terbaik, tetapi pasien tak dapat diselamatkan karena adanya infeksi yang akan menyebar," jelas sang dokter membuat Letta hampir tumbang.

"Dok, tolong sekali lagi."

Sang dokter menggelengkan kepalanya lalu menepuk bahu Alan. Andrea menatap Andrew tak percaya bahwa saudaranya akan meninggalkannya terlebih dahulu sebelum menerima permintaan maaf darinya.

Andrea memasuki ruangan Andrew secara perlahan sambil menguatkan dirinya, menatap sang kakak yang terbaring tanpa jiwa diatas kasur. Ia mengelus rambu Andrew secara perlahan lalu memeluknya erat.

"Ndrew, bangun. Gue janji bakal nurut sama lo, gue gak akan bantah omongan lo. Please, open your eyes. I'am here waiting for you," ucap Andrea lalu menangis tepat di dada Andrew. Andrea mengenggam tangan Andrew yang masih hangat.

Ia terbangun dan menatap padang bunga yang sangat indah dan sejuk. Andrew tersenyum sekilas sambil berusaha menghalau cahaya matahari. Ia mencari seseorang di sekitar situ, tetapi tak menemukan satu pun.

"Andrew," panggil seseorang dari arah belakangnya.

"Kakek?" Tanya Andrew bingung. "Kakek masih hidup?" Lanjutnya.

Grego menggelengkan kepalanya lalu tersenyum membuat Andrew kebingungan.

"Kamu yang sudah meninggal."

"Gak mungkin, kek. Andrew masih harus hidup," balas Andrew tak percaya.

"Ya, kamu memang harus hidup dan bertahan. Lihat adikmu, berharap kau akan bangun, terimalah permintaan maaf darinya," ucap Grego sambil menunjuk ke arah sebuah lembaran seperti layar yang entah sejak kapan ada di belakang Andrew.

Andrew menoleh dan menatap layar itu, ia melihat Andrea tengah menangis sambil mengucapkan janjinya. Andrew tersenyum melihat kelakuan Andrea. Ia memang sudah memaafkan Andrea. Tetapi disana ia juga melihat dirinya yang terbaring lemah. Juga mom dan dad yang menangis. Senyumannya perlahan meredup. Apa benar ia sudah tiada? Semudah itu?

"Kembalilah ke duniamu," suruh sang kakek. "Belum waktunya kau berada disini bersamaku," lanjutnya.

"Bagaimana caranya?"

"Ikutilah arah cahaya itu," tunjuknya kepada satu cahaya yang amat terang bahkan membuatnya silau.

Ia menoleh kembali berniat bertanya kepada sang kakek, tetapi sang kakek sudah lenyap dari hadapannya.

Andrew mulai mengikuti arah cahaya dengan beberapa kali berusaha menghalau cahaya itu.

Tit .. tit .. tit

Suara monitor yang berubah nada. Andrea menoleh dan mendapati monitor itu yang menampilkan sebuah grafik tak lagi garis lurus.

"Mom! Dad!" Teriak Andrea. Letta dan Alan menatap tak percaya. Putranya bangun.

Beberapa dokter memasuki ruangan itu lalu mengecek tanda vital pasien. Sang dokter menatap kagum pada pasien.

"Dok, apa yang terjadi?"

"NDE. Near-death experience atau kondisi mati suri," jelas sang dokter.

"Jadi dia hanya meninggal sementara?"

"Iya, kami akan segera memberikan obat untuk mencegah penyebaran infeksi itu," ucap sang dokter yang diangguki oleh Alan.

Sang dokter keluar dengan senyuman, tentunya mereka senang pasien hanya mengalami mati suri.

"Lo dengerin gue?" Lirih Andrea tak percaya.

***

Andrew membuka matanya perlahan-lahan. Ia mengejapkan matanya beberapa kali, berusaha beradaptasi dengan cahaya lampu. Ia ingin menggerakan tangannya tetapi sesuatu menimpa tangannya. Andrew menoleh dan mendapati Andrea yang tertidur pulas dengan berbantalkan tangannya. Sebuah senyum muncul di wajahnya. Ia melirik jam, jam menunjukkan pukul 5 pagi.

Andrea merenggangkan tubuhnya setelah merasakan suatu gerakan. Ia membuka matanya dan menatap Andrew yang juga tengah menatapnya, Andrea hampir saja berjingat kaget sebelum Andrew menyuruh diam.

"Lo bangun?" Lirih Andrea. Andrew mengangguk. "Gue kangen sama lo!" Lanjutnya lalu memeluk Andrew.

Andrew membalas pelukan Andrea. Lalu menepuk pelan punggungnya. Andrea berniat menyampaikan permintaan maafnya kepada Andrew, tetapi kata-kata yang sudah ia rangkai, hilang tanpa jejak.

"Maafin gue," sesal Andrea.

"Gue selalu maafin lo," balas Andrew.

"Jangan tinggalin gue."

"Gue akan selalu disisi lo."

Jangan lupa vote and comments yaa 🤗 bubyee!

Follow Instagram :

@Literasimary_

GARDENIA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang