1

7.4K 326 35
                                    

Hai,
Selamat Hari Raya Idul Adha semua.
Aku bawa Anaknya Abidakarsa, nih.

Apa kalian masih mengingat nama anak lelaki buah cinta pertama Abid dan Risel?

Namanya Alfath El-Farabi Abdullah. Lelaki tampan, tanggunjawab, pendiam, dan... Menyimpan banyak hal di balik wajah datarnya.

Sebenarnya dia nggak sedatar tampangnya. Penuh canda, tapi hanya dengan keluarganya. Ketika di luar, candanya hilang terhempas entah karena apa.

Dengan modal terpaksa, akhirnya dia menuntaskan pendidikannya di akademi. Kalian tentu masih ingat keinginan seorang Abidakarsa, bukan? Mempunyai anak banyak, dan mengharapkan anaknya mengikuti jejaknya.

Alfath sempat mengeluh bosan dengan dunia loreng. Ia suka perang, tapi tak suka dunia militer. Baginya, semua terlalu monoton. Apalagi, mengingat masa kecilnya yang kerap ditinggal.

Ia berjuang untuk mengukir senyum di wajah orang tuanya. Segala muaknya ia buang, untuk mengayuh perahu menuju peraduan di Lembah Tidar.

Menjadi dewasa tak mudah baginya. Ia harus bisa memosisikan diri sebagai anak lelaki, kakak dari tiga adik lelaki, kakak dari dua adik perempuan, dan sebagai dirinya sendiri. Risel tak pernah berhenti meyakinkan anak pertamanya untuk terus berusaha menjadi baik. "Karena dunia ini butuh orang baik, Kak." Kalimat yang terus diingat oleh Alfath.

Mempunyai adik banyak, menambah berat di pundak. Ia harus bisa menjadi teladan bagi adik-adiknya, menjadi sosok yang pantas untuk ditiru. "Kakak, jangan cengeng nanti adiknya ikut nangis," kata Risel pada Alfath saat terjatuh dari sepeda semasa kecil dulu.

Lelaki dengan potongan rambut meniru Bapaknya itu berdiri menatap orang tua dan dua adiknya yang berjalan ke arahnya. Setelah menerima kalung bunga, ia mencari sosok yang selalu mendukungnya.

Ditubruknya tubuh Risel, menumpahkan tangis pertama di umur yang dewasa ini. "Terima kasih, Ammah. Maaf, belum bisa menjadi anak yang baik."

Risel tak kalah hebat, ia menangis haru. "Kakak hebat! Ammah bangga. Setelah ini jangan sombong, masih banyak kekurangan kita."

Abid berdiri di sebelah Risel, menatap tajam anaknya. Ada rasa bangga melihat anak pertamanya berhasil ia hantarkan sampai gerbang dunia militer yang sesungguhnya. Ia pukul bahu Alfath, lalu dibawa dalam dekapan. "BarakaAllah, Kak! Jangan sombong!"

Alfath mengiyakan dalam hati. Selalu jangan sombong yang ia dengar.

"Terima kasih, Baba. Doakan agar Kakak bisa bertahan."

Alfath sangat ambisius. Ia dendam dengan keadaan yang membawanya masuk dalam lingkungan akademi. Ia berjanji dalam hati jika ia keluar dari sini, ia akan membawa gelar Adhimakayasa.

"Wah, Kakak benar-benar ambisius! Adhimakayasa, Bung!" Itu suara Atthar yang memakai baju biru khas taruna.

"Kamu juga, Atthar! Berambisi pengen jandi komandan!" Atthar terkekeh.

"Dek, belajar yang rajin, jangan nakal, jangan ngelawan Ammah dan Baba. Ingat, jadi perempuan yang mulia. Oke?" nasihatnya untuk Adik perempuannya. Sang Adik mengangguk, lalu masuk dalam dekapan Alfath.

Cuti sepuluh hari ia manfaatkan untuk quality time dengan keluarga. Hari libur, semua berkumpul.

Masih ingat dengan keinginan Abid punya anak banyak?

Lihat, anaknya sudah enam. Kalau sedang kumpul, selalu ribut. Hal kecil pun akan jadi besar. Tapi itu lah obat lelah seorang Abidakarsa, yang sekarang sudah naik menjadi Wakil Komandan Batalyon Banteng Raider. Beruntungnya dia, tak ada mutasi. Semarang memang tempatnya menyiptakan bahagia.

Al-FathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang