Aku mengerjapkan mataku perlahan-lahan, berusaha mendorong rasa sakit di kepalaku. Ketika mataku terbuka, retina mataku di suguhkan oleh sinar cahaya dalam skala yang besar.
Oh astaga, aku belum siap menerima pasokan cahaya itu. Rasa sakit di kepalaku kembali bertambah, penglihatan ku juga memburam.
Selama beberapa detik membiasakan cahaya lampu tersebut menyorot indera penglihatan ku, akhirnya aku bisa melihat dengan sempurna walaupun terkadang aku kembali memejamkan mataku ketika kepalaku seperti di hantam palu godam.
Apa yang terjadi? Dimana aku sekarang?
Potongan-potongan kejadian membanjiri ingatanku, dari aku menunggu taxi hingga aku merasakan tubuhku terpental jauh dan setelah itu hanya ada kegelapan. Aku tidak tahu apa yang terjadi lagi setelah itu.
Aku mencoba untuk bangun dari tidurku, mendudukkan diriku dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Aku berasumsi bahwa saat ini aku berada di rumah sakit, terlihat dari benda-benda di sekelilingku dan juga aroma obat yang menguar dengan pekat memasuki hidungku.
Tanganku terangkat menyentuh kening dan aku dapat merasakan sebuah perban kecil di pelipis ku, ternyata luka ini yang membuat kepalaku rasanya ingin pecah.
Suara derit pintu terbuka mengalihkan fokus ku, kepalaku dengan refleks terputar dan menemukan seorang pria dengan rambut sebahu dan celana robek-robek melangkah ke arahku. Dahi ku mengernyit begitu saja, entah karena melihat penampilannya atau karena bertanya-tanya siapa dia?
"Kau sudah sadar?"
Pertanyaan macam apa itu? Jelas-jelas mataku sudah terbuka lebar seperti ini! Tetapi yang aku lakukan hanyalah menganggukkan kepala dan tersenyum kecil, untuk tatakrama dan kesopanan.
"Aku akan memanggil dokter terlebih dahulu, tunggulah sebentar."
Pria tersebut sudah bersiap melangkah namun terhenti oleh suara derit pintu, lagi-lagi ada yang masuk ke dalam ruangan ini.
"Jace," sebuah suara mengalun dengan lembut.
Astaga! Tuhan, untuk sejenak nafasku terasa sesak. Tidak, aku tidak sakit. Namun, suara tersebut sangat familiar di telingaku.
"Kembalilah ke ruangan mu, kau juga butuh istirahat. Kau sudah mabuk berat, biarkan aku yang menjaga wanita itu."
Dengan kepala yang sangat sakit aku memberanikan diri menengadahkan kepala dan menoleh untuk melihat ke arah dua pria yang sedang berbincang tersebut, God!
Mataku terbelalak sempurna, hatiku sangat sakit seolah ada tangan tak kasat mata yang meremasnya begitu kuat. Aku bahkan bisa merasakan mataku mulai tergenang oleh air mata.
Bagiamana bisa? Astaga Tuhan! Hansel Cedric Dayton, pria yang selama ini aku rindukan, pria yang selama ini aku tunggu kehadirannya.
Namun, pria yang juga mematahkan hatiku hingga hancur berkeping-keping. Menghempaskan penantianku karena kehadirannya tak kunjung datang. Kini berdiri di dekatku, mataku bergerak rakus untuk meneliti penampilannya. Aku sangat merindukannya, demi apapun!
"Hansel." lirihku dengan pelan namun aku bisa melihat bahwa pria tersebut memegang di tempatnya. Matanya menatap ke arahku, bola matanya membesar selama beberapa detik. Sepertinya ia juga sama kagetnya denganku.
"Bella." gumamnya. Tuhan, nama panggilan itu. Sudah lama aku tidak mendengar langsung dari bibirnya.
Kemana saja dia selama ini?
Ketika aku melihat pergerakan tubuh Hansel yang ingin berlalu dari ruangan ini saat itulah otakku terhubung, dengan segera aku turun dari atas brankar kemudian berlari ke arahnya. Memeluk tubuhnya dari belakang sambil memejamkan mataku, terisak dengan keras di punggung tegapnya. Apa yang hendak ia lakukan? Meninggalkanku lagi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Back To You [End]
Lãng mạnAku, Arabella Agatha Winston, hanya wanita sederhana yang bekerja di salah satu perusahaan penerbit menjadi seorang editor. Mencoba beradaptasi dengan lingkungan baruku di Colorado, Amerika Serikat. Insiden pada satu malam membawaku berkelana dalam...