Bab 18.

1.4K 97 0
                                    

Hansel terus memijat tengkukku ketika aku tidak berhenti mengeluarkan muntahan cairan bening saja. Astaga, aku sungguh lelah seperti ini. Sudah dua hari aku terus menerus memuntahkan apapun yang masuk ke dalam pencernaan ku, di iringi dengan pusing yang teramat sangat. Menurut penjelasan dokter, ini efek samping dari keretakan tulang tengkorak ku. Ya, benturan keras itu sampai membuat tulang tengkorak ku mengalami keretakan parah. Itulah alasan kenapa kepalaku sangat sakit walau hanya di gerakkan sedikit saja.

"Sudah?"

Aku menganggukkan kepala dengan lelah. Aku sangat benci efek samping seperti ini.

Hansel membasuh mulutku dengan telaten. Ia tidak pernah lelah menemani dan merawat ku walaupun selalu saja aku tidak menganggap kehadirannya nyata. Aku tidak pernah menanggapi jika ia berbicara dan hanya mengangguk ataupun menggelengkan kepala jika ia bertanya. Aku masih belum bisa berpikir jernih dengan keadaan seperti ini, dan juga sangat sulit menghilangkan rasa kekecewaan yang teramat besar terhadapnya.

Aku memang wanita munafik! Satu sisi aku kecewa, namun satu sisi aku benar-benar bahagia melihat ia berada di sisiku. Aku merindukannya, dan aku masih begitu mencintainya.

Hansel kembali mengangkat tubuhku ke dalam gendongannya dan membaringkan tubuhku di atas ranjang rumah sakit dengan lembut. Aku bisa melihat bahwa ia berusaha tidak menyentuh kakiku sama sekali, ia tahu dimana letak luka yang paling parah di tubuhku.

"Terima kasih." Ujar ku seraya menarik selimut yang sudah Hansel sampirkan di tubuhku.

"Sama-sama." Jawabnya. Tangannya mengelus dahi ku yang di perban dengan lembut, senyum manis selalu bertengger di sudut bibirnya, "Bella..."

Aku menatap matanya yang lagi-lagi memancarkan sorot sendu yang begitu kentara, ia benar-benar seperti sebuah buku terbuka di hadapanku.

"Satu hal yang harus kau tahu," Tangan kirinya mengambil tanganku dan menyatukan jari jemari kami dengan erat, "Aku selalu mencintaimu. Dari dulu, sekarang, maupun selamanya." Hatiku berdenyut nyeri melihat matanya memerah dengan cairan bening memupuk di sana, "Itu bukan sebuah kebohongan, Bella."

Aku tidak bisa!

Aku memalingkan wajah dan menutup mata. Mata itu, tatapan sendu itu, dan suara parau itu. Aku tidak bisa! Sakit! Sangat sakit! Hansel yang selama ini aku lihat selalu kuat seperti hancur lebur perlahan-lahan. Aku tidak ingin membalas tatapannya dengan tatapan sama-sama sakit. Itu hanya akan semakin membuatnya hancur, aku tahu itu.

"Aku ingin istirahat, Hansel."

Cukup lama hanya ada keheningan sebelum Hansel melepas jemari kami yang saling bertaut. Saat itu juga aku merasakan kehilangan. Namun hatiku kembali menghangat ketika ia mengecup dahi ku lama dan begitu lembut.

"Istirahatlah, sayang. Aku keluar sebentar."

Aku mendengar suara pintu di buka perlahan dan kembali tertutup. Saat itu juga aku tidak bisa menahan rasa yang begitu menyesakkan di dalam dadaku, aku terisak pelan dengan tangan yang memijit pelipis.

Aku tahu bahwa bukan hanya aku pihak yang tersakiti di sini. Aku tahu baik Hansel maupun Darren merasakan hal yang sama, aku bisa melihat itu dari mata mereka.

Tetapi, kenapa mereka melakukan itu? Apa yang sebenarnya selama ini mereka sembunyikan dariku? Mengenai sirkuit. Mengenai Darren yang tahu keberadaan Hansel namun membiarkan aku terpuruk sendiri. Rasanya benar-benar sakit. Mereka membohongiku, mereka menghancurkan kepercayaan ku.

Aku berusaha menghentikan tangisanku ketika pintu ruang rawat ku di ketuk dengan pelan, aku bisa melihat keberadaan cinta pertamaku disana, ayahku.

Back To You [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang