Three

180 8 26
                                    

Mama sepertinya sangat menyesal dan mungkin kecewa padaku, terlihat dari air matanya yang tidak putus tadi.

Namun, jika aku tidak pergi dan menyerah dengannya, apakah mereka benar-benar akan menyesal dan tidak mengulangi apa yang mereka paksakan padaku? Sepertinya itu mustahil.

"Yuju kamu beneran nggak mau ngasih mereka kesempatan? Kayaknya Mama kamu sedih banget tadi," kata Jae yang masih fokus mengendarai motor beatnya.

"Kamu ngomong apa Jae? Nggak kedengeran!" teriakku seolah itu memang terjadi, padahal aku mendengarnya dengan sangat jelas.

"Nggak papa!" teriaknya sampai orang yang mengendarai motor di samping kami kaget dan menoleh.

"Jae jangan teriak-teriak! Malu tau, kasihan itu masnya!" kataku degan sedikit tawa.

Bukannya menurut, ia justru semakin menjadi-jadi.

"Mas! Ini pacar saya lagi sedih, makasih ya udah kaget dan bikin dia ketawa," katanya dengan teriakan seraya mengacungkan jempol kirinya.

Mas-mas yang ada disamping kami ikut tertawa dan kemudian pergi mendahului kami seraya berkata, "Edan!"

"Jae! Kamu tu! Malu tau!" kataku sembari mencubit perutnya.

"Aw! Gapapa deh malu-maluin, dicubit juga gapapa yang penting kamu ketawa!"

Ya Tuhan, bagaimana lagi aku harus mengucap syukurku pada-Mu? Dia adalah bentuk rasa syukur yang bisa aku perlihatkan kepada-Mu. Terimakasih telah mengirimkanku malaikat terbaik-Mu.

"Sayang, udah mau malem nih! Kamu udah makan belum tadi?"

"Belum sih."

"Mau makan apa? Kita mampir dulu beli makan!"

"Nggak usah beli ah! Malu tau, penampilaku udah kaya perempuan yang ditinggal pergi pacarnya pas lagi hamil!"

"Nggak mungkin lah! Kan kamu belinya sama pacar kamu, lagian aku nggak mungkin ninggalin kamu pas lagi mengandung anak aku! Amit-amit, kalau belum nikah aku nggak bakal hamilin kamu ya!"

"Iya aku tau kamu pria baik-baik, kalau gitu masakin aku ya nanti di rumah! Hehe,"

"Masak? Iya deh iya aku masakin kamu!"

"Mie!" lanjutnya.

.

Kami sudah sampai dirumah Jae, rumah yang sangat familier bagiku. Memang aku sudah sering datang ke rumah ini, bahkan akupun sudah akrab dengan para penghuninya.

"Bunda!" seruku pada Ibu Jae dan akupun kembali menangis dipelukannya.

"Kenapa sayang? Sini cerita sama Bunda! Yejin tolong buatin teh anget buat kak Yuju ya," perintahnya pada anak bungsunya.

Yejin itu satu-satunya adik dan saudara Jae, mereka hidup damai dan saling menyayangi serta menjaga satu sama lain. Sungguh aku menginginkan keluarga yang seperti ini, nyaman. Yejin sendiri saat ini duduk di bangku kelas 3 SMP.

Akupun menceritakan semuanya pada Bunda dengan masih berlinang air mata.

Bunda sangat pengertian padaku, aku memang sudah sering berbagi cerita dengannya. Ia selalu memberikan solusi padaku, sama seperti tante Yoora.

"Mungkin Mama kamu lagi capek sayang, mungkin kakak kamu cuma mau kamu jadi anak yang nggak kasar sama orang tua. Niat mereka pasti baik, kadang mereka jauh lebih tau apa yang terbaik buat kamu dibanding diri kamu sendiri. Percaya sama Bunda! Mama kamu pasti pengen kamu jadi anak yang berhasil, makanya beliau sesemangat itu ke kamu."

Apa memang aku yang kurang mengerti dengan kedaan?

"Bun, maafin Yuju ya. Yuju selalu dateng ke Bunda kalau lagi sedih, Yuju selalu ngerepotin Bunda," kataku padanya sembari memegang kedua tangannya.

"Ya Tuhan Yuju, kamu jangan ngerasa nggak enak cerita ke Bunda. Bunda udah anggep kamu seperti anak Bunda sendiri. Toh akhirnya nanti kamu bakal jadi anak Bunda beneran!" katanya seraya melihat ke arah dapur di akhir kata.

Tiba-tiba Jae teriak dari dapur, "Hayo lagi ngomongin Jae ya!"

"Buruan kesini bang! Kasihan ini pacar kamu nungguin kamu lama banget. Masak apa sih kamu? Kayak bisa masak aja!"

Tak lama dari itu Jae keluar dengan semangkuk mie rebus andalannya, "Bunda ngeremehin abang ya? aku bisa masak ya Bun! Emangnya Yejin, goreng telor aja kayak mau syuting Powerangers!"

"Yejin denger ya bang!" itu Yejin yang sedang berada di kamarnya di lantai dua.

[END] When You Love Someone •• [PARK JAEHYUNG]°°Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang