Entah mendapat keajaiban dari mana, Erina sudah duduk di atas sajadah dengan mukenah dan Al-Qur'an di tangan kanannya. Sumpah, seumur hidupnya baru kali ini dia melakukan sholat istikharoh, bahkan Erina sampai mengulangnya dua kali. Pertama selepas Ashar, dan kini selepas Maghrib.
Erina menghembuskan napasnya, kegelisahannya sedikit berkurang. Erina menatap frame foto berukuran sedang di nakasnya. Fotonya bersama Opung saat dia masih SMA, 10 tahun yang lalu.
Opung sangat menyayangi cucu-cucunya, bahkan terkesan memanjakan walaupun Opung itu sikapnya keras.
"Mbak!"
Erina menoleh malas dan mendapati Buna yang tersenyum lebar. Seharusnya Erina menghabiskan malam minggunya dengan makan es krim di Mcd atau main di timezone bersama adik kembarnya tetapi dia malah harus terjebak dengan perjodohan konyol.
"Gimana perasaan mbak? Udah yakin?" tanya Buna. Erina mengangguk pelan. Yah dia sedikit yakin. Hanya sedikit.
"Kalau mbak ingin menolak tidak masalah, nanti hanya pertemuan keluarga saja belum lamaran resmi," ucap Papa. Erina dan Buna menolehkan kepalanya.
"Maksud Abang apa?" tanya Buna.
"Pernikahan itu tidak bisa dipaksakan, Papa tidak mau pernikahan mbak Er tidak bahagia. Mbak Er beneran siap menikah?" Papa menatap Erina dengan serius.
Erina memperbaiki posisi mukenahnya hingga anak rambutnya kelihatan. Jujur, dia mulai kegerahan. Mungkin dalam tubuhnya banyak iblis ya?
"Emang Papa yakin sama lelaki pilihan Opung ini?" Erina balik bertanya.
Papa menganggukkan kepalanya.
"Papa beberapa kali bertemu dengan dia, dia laki-laki yang baik, prestasinya juga bagus," ucap Papa.
"Dia pengusaha juga kan Pa?" tanya Erina.
"Polisi, mbak."
"HAH?"
Astaga, demi ular naga panjangnya, selama ini Erina menghindari Abdi Negara. Bukan karena benci, tapi Abdi Negara itu rumit. Kerja tidak menentu, Erina juga gitu sih pekerjaannya. Tapi bedanya -bukannya Erina matre atau merendahkan pekerjaan mulia itu, tapi ya.. Gajinya tidak besar-besar amat.
Apa dia bisa menghidupi Erina yang gemerlap dan semi hedonis ini? Erina takutnya menyusahkan. Mau hemat? Oh jangan mimpi, tabungan Erina saja hanya bertahan satu hari. Matanya itu lho, suka jelalatan lihat barang branded. Imannya hilang jika dihadapkan dengan Hermes, Channel, LV, dan jajarannya.
"Pa, gak ada yang lain apa?" tanya Erina berusaha bernegosiasi.
"Ada. Adiknya pilot, satu maskapai juga sama mbak katanya," ucap Papa. Erina menghembuskan napasnya.
Mendingan pilot sih, Erina bisa curi-curi pacaran di pesawat sebelum tale off, tapi lagi nih yaa, pilot itu juga seperti Bang Toyib, tiga kali weekend bisa tidak pulang, apalagi kalau mereka beda flight.
Ribet amat hidup lo Erina, astaghfirullah.
"Yaudah deh yang polisi aja Pa, tapi syaratnya setelah nikah Erina mau tetap kerja lho Pa," ucap Erina.
"Kalau itu sih bicarakan sama calon suami kamu nanti," ucap Papa. Erina menghembuskan napasnya.
Adzan isya berkumandang, Papa mengajak Erina untuk sholat berjamaah.
**
"Gimana? Udah cantik kan?" tanya Erina menatap dua lelaki di depannya. Satria dan Chan.
Tubuh Erina sudah terbalut dress selutut berwarna maaron, wajahnya juga sudah terpoles make up tipis, dan rambut panjangnya dibiarkan tergerak dengan hiasan jepit rambut berukuran sedang.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERTIWI
Romansa#Sequel moveon "Kamu itu, pacaran udah kayak baju, Gonta-ganti terus. Kalau gitu terus nikahnya kapan?" -Raina Azalea Lubis, Ibunda Ratu "Beli sayuran aja dipilih-pilih dulu, kalau bagus baru diambil." -Erina Kartika Pertiwi Nasution, Pramugari Garu...