(3) Mencari Tahu

16.3K 985 60
                                    

JANGAN LUPA VOTE AND COMMENT, YA
HAPPY READING

Hari masih pagi. Bahkan, matahari baru saja bergerak beberapa derajat, berpindah dari tempat semula. Namun, Vanilla sudah menjadi bahan perbincangan murid-murid di SMA Garena. Tentu karena keberaniannya menentang Albar yang notabene nya adalah murid yang paling ditakuti seantero SMA Garena.

Banyak pasang mata yang menatapnya kagum. Mungkin, bila orang lain yang ditatap seperti itu, mereka akan merasa bangga. Tetapi tidak dengan Vanilla. Jujur, ia merasa risih ditatap seperti itu.

Helaan nafas terdengar dari mulut Vanilla ketika ia sudah menyandarkan punggungnya di tembok. Posisi duduknya mengesamping. Bibirnya mengerucut, lalu tak lama, mulutnya berkomat-kamit seperti tengah menggerutu. 

"Lo kenapa dah, Nil?" pertanyaan retorik itu muncul dari mulut Vava yang sejak tadi memperhatikan temannya itu. 

"Iya. Manyun manyun gitu kayak kudanil." Timpal Firly yang langsung mendapatkan delikan dari Vanilla.

"Lo nggak jawab, buku lo gue lempar ke gedung sebelah." Ancam Naya membuat Vanilla melototkan matanya. 

Vanilla mencebikan bibirnya sebal, karena teman-temannya masih tidak ada yang peka dengannya. 

Lantas, ia menegakan posisi duduknya, "Gue tuh gondok! Dari kemaren, anak-anak di sekolah pada ngeliatin gue mulu. Berasa jadi buronan gue." Decak Vanilla membuat teman-temannya mengangguk paham. 

"Lo gondok, Nil?" tanya Firly polos seraya mengmati Vanilla dari atas sampai bawah. "Tapi, nggak ada benjolan-benjo____" 

"Firly. Please, deh. Gondok itu konotasi, zheyeng." Jelas Vava singkat seraya memutar bola matanya malas. Begitu juga dengan Vanilla dan Naya. 

Mulut gadis dengan kipas bawaannya itu membulat. Di kibaskannya kipas tersebut ke mulut Vanilla membuat temannya membelalak seraya memegangi bibirnya. "Lagian, lo, sih! Ngomong apa baca puisi pake konotasi segala!" 

"Ya Tuhan. My tounge." Gumam Vanilla. 

"Mai tong mai tong. Kayak bibir lo seksi aja!" cibir Firly. 

"My tounge, Fir." Ralat Naya. 

"Tau." Tambah Vanilla.

"Lagian, ya, masih seksian juga bibirnya Bu Rosi." 

Seketika gelak tawa memenuhi meja mereka. Bahkan, Naya yang biasanya jarang tertawa kini ikut larut dalam tawa itu. 

"Anjir, parah, lo, Fir!" kata Vanilla di sela-sela tawanya. Tangannya memegangi perutnya yang kesakitan. 

"Tau, lo! Emang murid no have akhlak." 

"Dih. Gue, sih, betul. Liat aja, tuh bibir kalau lagi ngajar. Menor bener udah kayak emak-emak baru kenal make-up."

"Apalagi kalau dia lagi ngenggerutu. Bibirnya miring-miring." kata Naya membuat teman-temannya mengingat ekspresi Bu Rosi saat itu. 

Kemudian, keempatnya kembali tertawa lepas. 

"Enough, guys! Ini kenapa jadi gunjingin guru, sih! Harusnya, lo semua bikin gue tenang, ayam!" ucap Vanilla menghentikan tawa teman-temannya. 

"Lho? Tadi, kan, lo udah ketawa. So, udah tenang, kan?" tanya Firly. 

Tidak lama setelah Firly mengatakan itu, Vava langsung membekap mulut temannya. Kemudian, ia menatapnya tajam. "Bukan itu yang dia mau, dodol!" 

"Terus apa?" tanyanya pelan. 

"Liat gue." 

Vava langsung mendekatkan wajahnya pada Vanilla seolah gadis itu excited dengan apa yang akan ia ucapkan. 

ALBARES MADAGASKAR (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang