(23) Pernyataan

9.9K 633 13
                                    

JANGAN LUPA VOTE AND COMMENT

HAPPY READING

Mata yang semula terpejam, kini terbuka secara perlahan. Mengerjap hingga sadar secara keseluruhan. Vanilla langsung menyentuh bagian kepalanya yang terasa nyeri.

"Kok gue bisa di sini? Tadi, kan, gue sama Naufal?" gumamnya seraya meringis.

"Dokter! Pasien sudah sadar, Dok!" seru seorang Suster yang sebelumnya melihat keadaan Vanilla melalui ambang pintu.

Tidak lama, Dokter dan beberapa perawat datang. Mereka langsung mengecek kondisi Vanilla. Ia hanya bisa pasrah saat Dokter tersebut memeriksanya.

"Kondisinya sudah baik. Nanti bilang ke keluarganya, pasien boleh di bawa pulang." Ujar sang Dokter pada Suster yang ada disebelahnya. Dengan patuh, Suster tersebut mengangguk dan pergi meninggalkan kamar Vanilla.

"Apa kepala kamu terasa nyeri?" tanya Dokter tersebut pada Vanilla.

Gadis itu mengangguk lemah membuat Dokter bernama Andreas itu mengangguk.

"Baiklah, nanti saya akan kasih kamu obat anti nyeri."

"Saya akan kembali ke sini."

Sepeninggalan sang Dokter, Vanilla sendiri. Melalui kaca, ia dapat melihat ada Albar dan Bundanya yang tengah menunggu di lorong dengan raut khawatir.

Gue di tolong Albar! Pekiknya dalam hati ketika ia mengingat kejadian tadi sore.

Tidak lama berselang, Albar dan Zira masuk dengan perasaan cemas. Bahkan, Zira langsung menghampiri Vanilla dan mengusap dahi anak sulungnya.

"Nil. Kamu, kok, bisa sampe kayak gini, sih? Emangnya kamu ngapain? Untung ada Albar, coba kalau nggak ada. Bunda nggak kebayang, deh, Nil." Cerocos Zira membuat Albar terkekeh.

"Eumm... Vanilla tadi ada janji, Bun, sama temen. Tapi temen Vanilla nggak dateng-dateng." Alibinya. Ia tidak mau kalau Naufal sampai ikut terseret dalam masalah ini. Jelas Naufal tidak salah.

Helaan nafas terdengar dari mulut Zira, "Kamu bikin Bunda khawatir, aja!" wanita paruh baya itu sedikit kesal. Lalu ia bersedekap. Pandangannya beralih pada kaca yang menampilkan langit gelap, "Bunda nggak mau kehilangan anak lagi, Nil. Cuman kamu yang Bunda punya sekarang." Sendu Zira dengan mata yang berkaca-kaca.

Vanilla hanya bisa menatap Bundanya lirih. Ada rasa sesal karena telah membuat Bundanya khawatir.

Sementara itu, Albar tercekat mendengar kalimat Zira. Jadi, Vanilla itu punya saudara? Tapi, kan rumornya Vanilla anak di luar nikah? Gimana caranya? Apa Tante Zira ngelahirin anak kembar, kah? Tanya Albar dalam hati.

"Bun... Jangan ngomong gitu," lirih Vanilla membuat Zira menatapnya. Senyum tegar menghias wajah Bundanya.

"Iya." Ucap Zira seraya mengelus dahi anaknya. "Bunda mau keluar sebentar. Sekalian ngajak Naya buat beli makanan. Pasti Albar belum makan, kan?"

"Eh, nggak usah, Tan. Albar nggak laper, kok." Tolak Albar halus.

Penolakan Albar langsung dibalas pelototan oleh Zira, "Tante nggak menerima penolakan!" tegasnya.

"Saya nggak menerima pemaksaan!" balas Albar. Di detik berikutnya ia langsung menelan salivanya dengan susah payah ketika mendapati wajah Zira yang berubah pias, "Eh, maksudnya, eum___ aduh. Sa-saya ng-gak enak kalau Tante yang beliin." Ujar Albar gugup.

Zira tertawa melihat respon Albar, "Tante serem, ya?" tanyanya membuat tawa Vanilla pecah. Sedangkan Albar malah tersenyum kikuk seraya menggaruk tengkuknya yang tak terasa gatal.

ALBARES MADAGASKAR (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang