JANGAN LUPA VOTE AND COMMENT
"Jadi, pas lo lagi mau jalan ke rumah Naya, ada orang yang nabrak, lo?" tanya Leo setelah mendengar cerita Rehan.
Sang narasumber mengangguk dengan ekspresi andalannya. Datar.
"Yang masih bikin gue bingung, kenapa kecelakaan ini bisa sampe menimpa tiga orang berpengaruh di Arevas?" Leo mengetuk jemarinya di dagu seolah menemukan kejanggalan.
"Kita semua juga ngerasa ini bukan murni kecelakaan," ujar Geovano. Ia bangkit dari duduknya dan berdiri didepan kaca besar yang menampilkan gelapnya langit malam, "Gue ngerasa ini semua ada hubungannya sama Morgana. Secara, Rehan di tabrak, lalu di pukul. Albar, dari arah yang berlawanan, ditabrak sama mobil ngebut, padahal jalan lagi lapang saat itu. Lalu, Febrio yang di tabrak pake mobil truck kecil, dan pas ditemuin warga, Febrio udah ada di deket sungai.
"Ini bener-bener nggak masuk di akal. Kalau kecelakaan murni, pasti kita cuman menemukan satu kejanggalan. Tapi, disini, semuanya ada kejanggalan." Geovano membalikan tubuhnya.
"Gimana, kalau ternyata bukan Morgana pelakunya?" tanya Popon.
Semua pasang mata melirik kearah Popon, "Maksud gue, gimana kalau ternyata bukan cuman Morgana yang terlibat? Karena, setau gue, anak Morgana bukan orang-orang punya. Mereka cuman ngandalin uang hasil rampasan orang tua mereka buat beli motor dan happy-happy. Nggak mungkin mereka bisa make mobil audi putih buat nabrak Albar, sesuai kata Vanilla. Nggak mungkin mereka bisa pake mobil sport merah sesuai kata Febrio."
Fakta yang kian membelit membuat semuanya semakin rumit. Albar, sang ketua Arevas pun mulai frustasi. Ia mengacak rambutnya yang tak gatal.
"Pokoknya, kita harus cari tau siapa pelakunya. Kita cari sampe detail-detailnya. Jangan langsung nuduh tanpa adanya fakta." Ujar Albar sebelum melangkah keluar kamar Febrio.
"Mau kemana, Bos?" tanya Popon.
"Nemuin Vanilla. Biar nggak pusing-pusing amat."
"Mending ajak Vanilla-nya kesini. Secara, kan, yang pusing bukan cuman lo doang, tapi semuanya." Celetuk Geovano yang dibalas pelototan oleh seisi kamar, kecuali Rehan.
Langkah Albar terhenti sejenak. Ketua Arevas itu membalikan tubuhnya dan menatap temannya yang sebelumnya bersuara dengan tatapan membunuh, "Gue nggak suka bagi-bagi!"
*****
Keesokan harinya, setelah pulang sekolah, Albar mengajak Vanilla untuk pergi bersama. Entah kemana itu, Vanilla tidak tahu.
"Bar, kita mau kemana, sih?" tanya Vanilla seraya mengeratkan lingkaran tangannya pada pinggang Albar. Keduanya tengah berboncengan menggunakan motor sport merah milik Albar.
"Nanti juga, lo, bakal tau," balas Albar seraya tersenyum tipis dari balik helm nya.
Helaan nafas terdengar dari mulut Vanilla. Jujur, ia masih khawatir bila jalan sepulang sekolah. Kilasan-kilasan Bagas yang menariknya masih teringat jelas dalam memori ingatannya.
Motor sport milik Albar berhenti tepat di depan taman rindang yang banyak di penuhi oleh pepohonan dan juga____ beberapa patung yang sangat indah bila di letakan di dalam taman itu.
Mulut Vanilla tak henti-hentinya berdecak kagum melihat pemandangan di hadapannya.
"Bar, keren banget! Lo tau dari mana ada taman kayak gini?" tanya Vanilla dengan pandangan yang masih mengedar ke sekeliling taman.
Sudut bibir Albar terangkat naik. Ekspresi gadis disampingnya sangatlah menggemaskan, "Dulu gue sering kesini, tapi sebelum Mama gue meninggal." Tatapan Albar berubah sendu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALBARES MADAGASKAR (END)
Teen FictionSUDAH COMPLETED YANG MEMBACA, JANGAN LUPA UNTUK VOTE DAN COMMENT SERTA FOLLOW AKUN INI YA. (DILARANG PLAGIAT! KARENA INI HASIL PEMIKIRAN AUTHOR SENDIRI) Ini bukan kisah klise Play-boy yang bertemu dengan cewek galak, lalu pacaran. Tidak, bukan itu...