(39) Lengser

5.5K 323 7
                                    

JANGAN LUPA VOTE AND COMMENT, YA.

HAPPY READING

*****
"Aku bergeming sebab terlilit. Terlilit dengan sejuta masalah yang kian merumit."
*****

Pagi ini, Albar dan Vanilla berangkat bersama ke sekolah. Tidak seperti kemarin yang berangkat menggunakan kedaraan masing-masing.

Setelah mendengar penjelasan Albar, Vanilla memutuskan untuk membalas perbuatan empat gadis dan satu banci itu. Bukan dengan membalas perlakuan mereka yang setimpal, tetapi dengan cara memanas-manasi mereka.

Seperti biasa, Vanilla dan Albar kembali menjadi pusat perhatian satu sekolah. Namun, seperti biasanya juga, respon mereka selalu acuh terhadap pandangan-pandangan itu.

Tangan Vanilla yang tenang, kini bergerak melingkarkannya pada lengan kokoh milik Albar.

Bukannya ia ingin menunjukan kemesraannya dengan Albar didepan umum, tetapi, disaat yang bertepatan, Vanilla melihat Reina, Vinta, dan Neisya yang tengah berjalan bersamaan di koridor utara, serta Dilla yang tengah berjalan bersama Naufal di koridor selatan. Penyamaran yang bagus, bukan?

Vanilla yakin, Dilla melakukan itu agar tidak ada yang curiga sama sekali. Toh, tentu saja hal yang lumrah, bukan, bila seorang guru magang dekat dengan anggota OSIS.

"Kok, tumben?" tanya Albar dengan alis kanan yang terangkat. Matanya memandang Vanilla, tetapi, tetap saja tidak dapat menyembunyikan senyum tipisnya.

"Biarin. Lagi pengen." Jawab Vanilla sekenanya. Kakinya tetap terus melangkah hingga kini keduanya telah sampai di lorong kelas X.

Seraya tersenyum miring, Albar berniat untuk kembali menggoda Vanilla.

"Aku juga lagi pengen, nih." Kataya.

"Ya udah sama." Jawab Vanilla polos.

Eh? Tunggu sebentar.

Gadis dengan rambut bergelombang dibagian bawahnya itu mengernyit bingung. Langkahnya terhenti, matanya menatap Albar dengan tatapan mengintimidasi.

Alih-alih takut dengan tatapan itu, Albar malah tersenyum. Kedua alisnya terangkat secara bergantian.

"Iya. Aku juga lagi pengen." Katanya mesum.

"Aduh!!!"

Albar mengaduh saat Vanilla mencubit lengannya dengan cubitan kecil. Jangan lupakan kuku Vanilla yang sudah panjang.

"Kok, dicubit, sih?" gerutu Albar.

"Lagian, elo. Pagi-pagi otaknya udah mesum aja!" Balas Vanilla ketus.

"Lho? Kan, kamu yang bilang, kalau lagi pengen. Ya, aku jawab juga, lha." Balas Albar tak mau kalah.

"Pengen dalam konteks bukan itu, bambang!"

Untung saja, koridor yang mereka lewati masih sepi. Namun, Albar bersyukur, setiap ia dengan Vanilla berjalan di lorong atau sekolah, pasti suasananya sepi. Mungkin Tuhan ngizinin gue buat ngelakuin hal yang lebih kali, ya? Makannya di kasih kesempatan sepi mulu. Batin Albar.

Sementara itu, Vanilla sudah pergi lebih dulu meninggalkan Albar. Cewek itu langsung masuk ke kelasnya dengan kesebalan yang kian memuncak.

"Gue nggak bisa bayangin, gimana nanti malam pertama gue sama dia." Gumam Albar seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.

*****

Albar terkejut bukan main saat menemukan di kelasnya sudah ada puluhan anggota Arevas yang tengah menatapnya tajam.

ALBARES MADAGASKAR (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang