JANGAN LUPA VOTE AND COMMENT
Vanilla dan teman-temannya saat ini sudah berada di kelas. Seperti kemarin, Vanilla berangkat bersama Naya. Cewek itu masih saja bersifat dingin. Memang sifat Naya aslinya dingin, tetapi kali ini dinginnya berbeda. Vanilla yakin kalau masalah yang dihadapi Naya sangat berat, sampai-sampai temannya tidak dapat mengontrol emosi.
"Lo waktu itu diapain aja sama guru magang itu, Nil?" tanya Vava penasaran, "Gue pengen nanya, tapi lupa mulu."
"Pikun, dasar." cibir Firly, tetap fokus pada bedak yang tengah ia gunakan.
"Daripada, lo. Cegin!" balas Vava.
"Cegin?" beo Vanilla dan Firly bersamaan.
Firly yang semula menggunakan bedak,langsung megalihkan kegiatannya menatap Vava. Begitu juga dengan Vanilla yang langsung menghentikan aktivitas membaca buku kimianya.
Kepala Vava mengangguk, "Cegin. Cewek-cewek gincu."
"Vava!!!" pekik Firly. Ia langsung menjambak rambut Vava hingga sang empu meringis.
Vanilla menggeleng-gelengkan kepalanya heran. Dua manusia itu memang terlihat dekat, tetapi bila salah satu otak mereka sengklek, pasti akan terjadi drama tom and jerry antara mereka.
Pandangan Vanilla beralih pada Naya yang berada disebelahnya, "Nay. Bengong mulu." tangannya menyenggol lengan Naya membuat sang empu menoleh, "Lo kenapa, sih?"
"Gak apa-apa," jawab Naya datar.
Jawaban Naya kurang memuaskan Vanilla. Lantas, cewek itu langsung berdecak, "Gak apa-apa gimana? Lo, tuh, dari kemarin diem aja kayak patung."
"Gue emang kayak gini."
"Biasanya gak gini!"
Naya tidak menjawab. Cewek itu malah menatap kosong pintu kelas yang tengah dimasuki oleh beberapa murid.
Helaan nafas terdengar dari mulut Vanilla. Entah sampai kapan sahabatnya akan bersikap seperti ini.
"Nil. Jawab pertanyaan gue, kek!" kesal Vava karena pertanyaannya belum dijawab. Bahkan, rambutnya yang baru menjadi korban Firly ia abaikan. Rasa kekepoannya sudah bergejolak sejak kejadian itu.
"Gue gak di apa-apain sama Bu Dilla." Jawab Vanilla lesu.
"Oh, namanya Dilla?" tanya Filry seraya membuka kaca yang ia bawa.
"Eh! Dilla Dilla aja, lo!" Vava memukul lengan Firly menggunakan buku ensiklopedia yang dibawa Naya dari perpustakaan. Hal itu membuat kaca yang berada ditangan Firly terjatuh.
"Astaga!" pekik Firly membuat seisi kelas menoleh padanya.
Bukannya merasa berdosa, Firly langsung mencerocos tidak jelas, "LO TAU GAK INI TUH GUE BARU BELI DI ANAK KELAS 10. YA AMPUN. HARGANYA MAHAL TAU, ENGGAK! INI TUH HARGANYA DUA RATUS RIBU. LO BAYANGIN KALAU KACA MAHAL INI JATUH, DAN GUE BARU NYOBA SEKALI. GIMANA RASANYA, WOI!!" sambar Firly seperti kereta api.
Teman-teman seisi kelasnya hanya dapat menutup telinga mereka menggunakan telapak tangan masing-masing.
Vanilla langsung mendelik pada Firly yang menatap kacanya iba.
"Berisik, dodol!"
"Lagian, temen lo kurang asem!"
"Tambahin gula dong, sayang, kalo temen kamu kurang asem." Sahut Galuh-teman sekelas mereka yang menyukai Firly sejak awal mereka sekelas.
"Sayang sayang burung mu peyang!" sahut Firly yang dibalas gelak tawa seisi kelas-kecuali Naya.
"Anjir. Gue kira pala mu peyang. Ternyata burung mu peyang," ujar Vava disela tawanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALBARES MADAGASKAR (END)
Roman pour AdolescentsSUDAH COMPLETED YANG MEMBACA, JANGAN LUPA UNTUK VOTE DAN COMMENT SERTA FOLLOW AKUN INI YA. (DILARANG PLAGIAT! KARENA INI HASIL PEMIKIRAN AUTHOR SENDIRI) Ini bukan kisah klise Play-boy yang bertemu dengan cewek galak, lalu pacaran. Tidak, bukan itu...