(57) Hurt

6.5K 383 3
                                    

SESUAI JANJI AUTHOR TADI, AUTHOR MAU PUBLISH PART 57-58 DENGAN VERSI YANG BERBEDA DARI SEBELUMNYA. SEBENERNYA, DI PART INI BUKANNYA BEDA. CUMAN, DIALOGNYA LEBIH DISEDERHANAIN AJA BIAR NYAMBUNG KE PART BERIKUTNYA.

TAPI, KALIAN HARUS BACA ULANG, SEBAB ADA DIALOG YANG BERBEDA DARI VERSI SEBELUMNYA DAN AKAN NYAMBUNG KE PART BERIKUTNYA

WAHAI PARA SIDERS, SUDAH KAH KALIAN BERTOBAT?

AYO. PENSIUN JADI READERS. BERALIHLAH JADI READER YANG ORIGINAL DAN BERMUTU.

HARGAI TULISAN AUTHOR DENGAN VOTE ATAU KOMEN SANGAT MEMBANTU.

JANGAN LUPA UNTUK VOTE AND COMMENT, YA...

HAPPY READING

*****
"Gue enggak tau. Hanya sekedar butuh waktu, atau menjauh dan menganggap semua ini menjadi masalalu."
~Vanilla Arfanda~

*****

Awan dan langit yang biasanya menunjukan warna yang berbeda, kini tampak menampilkan warna yang senada. Gelap atau kelabu. Cuaca seolah ikut hancur atas kepergiannya seorang gadis yang selama ini mereka kenal baik, ramah, berani, dan cantik.

Hancur. Satu kata yang mendeskripsikan perasaan Albar saat ini. Wanita yang pernah singgah dihatinya, harus kembali kepangkuan Tuhan.

Zira. Wanita itu terus menangis disamping batu nisan bertuliskan nama putrinya. Air matanya terus mengalir tiada henti sejak tadi malam. Entahlah, mengapa Tuhan selalu mengujinya dengan nasib yang menyedihkan.

Fathan. Pria paruh baya itu menangis didepan Zira. Tangannya mengusap lembut makam anaknya. Sesal. Itulah yang ia rasakan karena telah menyia-nyiakan anak perempuannya.

"Kenapa kamu tinggalin Bunda, Nak?" isak Zira. Kini ia memeluk batu nisan tersebut.

Karena tidak tega dengan Zira, Naya langsung menenangkannya bersama Firly, "Bun. Kita harus terima, ya. Ikhlasin, biar dia tenang," Naya berucap dengan suara seraknya seraya mengelus punggung Zira.

"Iya, Bun. Bunda harus kuat. Jangan sedih lagi," ujar Firly.

Kepala Zira menggeleng, "Bunda enggak kuat lagi."

Satu kalimat itu mampu membuat semua orang terkejut.

Reflek, Fathan mengelus bahu Zira, "Zira. Enggak boleh ngomong kayak gitu. Kita semua masih ada," ujarnya.

Lagi lagi kepala Zira menggeleng, "Enggak. Aku udah enggak kuat, Than. Dari dulu, nasib aku selalu kayak begini," ujar Zira.

"Bun."

Panggilan dari Albar membuat kepala Zira mendongak dan menatap lelaki itu dengan netranya yang sudah memburam, "Bunda masih ada kita. Jangan sedih lagi. Kita, kan, juga anak Bunda." Kata Avira.

Dada Zira terasa sesak setelah mendengar kalimat itu. Benar. Tiga insan itu adalah anaknya juga. Meskipun bukan ia yang melahirkan nya.

"Bunda. Sudah mau mendung. Bunda enggak mau pulang?" tanya Avira seraya berjongkok disisi kiri Zira, "Bunda belum makan, lho."

ALBARES MADAGASKAR (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang