(14) 'Anak Haram'

11.1K 713 7
                                    

Hari ini, merupakan hari ketiga Vanilla tidak melihat Albar datang ke sekolah. Entahlah, ketidak hadiran Albar membuatnya gelisah. Terlebih, mereka sempat berdebat beberapa waktu lalu.

Sempat Vanilla bertanya pada Naya.

"Nay. Paa tadi, lo razia rambut, lo enggak ngeliat Albar sama sekali?"

"Engga. Katanya, dia emang enggak masuk."

Vanilla merengkuh tubuhnya dibalik dinding dengan tatapan kosong. Kegiatannya itu terhenti setelah mendengar suara decitan pintu kamarnya yang terbuka.

"Nil. Makan! Gue udah buatin bubur buat, lo." Naya meletakan bubur dan segelas air putih diatas nakas dan berjalan menghampiri Vanilla yang masih merengkuh tubuhnya.

Tangan Naya terlulur untuk mengelus punggung temannya itu, "Udah gak usah dipikirin. Albar pasti gak kenapa-napa, kok." Ucap Naya berusaha menenangkan Vanilla.

Kepala Vanilla menggeleng seolah tidak setuju dengan perkataan Naya, "Enggak, Nay. Kalau gak kenapa-napa, mana mungkin dia gak masuk sampe tiga hari gini," katanya.

Mengerti dengan kondisi sahabatnya, Naya langsung memeluk temannya seolah menyalurkan ketenangan, "Nil. Dia kan orangnya bar-bar. Maklum lah, kalau dia kayak gitu."

Vanilla membalas pelukan Naya. Matanya terpejam beberapa saat, "Gue ngerasa bersalah sama dia, Nay. Gue juga gak tau kalau teryata Mamanya meninggal. Gue tau apa yang dia rasain kar___"

"Sssttt... Lo gak usah bahas itu lagi. Kalau sempet, gue bakalan tanya kondisi Albar sama temen-temennya," Naya menguraikan pelukannya.

Dahi Vanilla mengernyit. Lalu ia menghapus jejak air matanya dan menatap Naya mengintimidasi gadis itu, "Bukannya lo gak pernah akur sama mereka?"

"Demi temen gue, gue bakal lakuin." Ujar Naya membuat senyum Vanilla mengembang. Lalu ia kembali memeluk Naya erat seraya tersenyum.

"Emang deh. Manusia dingin kayak elo, itu punya sejuta cara yang berbeda buat bahagiain temennya."

Sudut bibir Naya terangkat naik melihat reaksi Vanilla. Inilah sosok Vanilla yang sebenarnya, childish. Namun, Vanilla selalu menyembunyikan sikap aslinya menggunakan sikap beraninya. Hal itu ia lakukan agar kisah kelamnya dimasalalu tidak terulang lagi.

Setelah beberapa lama berpelukan, Vanilla menguraikan pelukanya dengan Naya. Netranya menatap Naya, "Lo tumben gak ikut OSIS?" tanya Vanilla. Pasalnya hari ini waktunya para OSIS beraksi disekolah, tetapi Naya malah santai disini.

"Kan, gue mau nemenin elo dulu," Naya mencubit pipi sahabatnya itu hingga sang empu meringis.

"Kampret, lo! Emang gue anak kecil apa! Udah sana, entar diomelin sama Pak Gandi yang bawelnya kayak emak-emak kostan." Usir Vanilla seraya mengusap pipinya yang menjadi korban kekejaman Naya.

"Males gue. Mending main aja," Naya berdiri dan melepas almameternya, lalu ia mengganti pakaiannya menggunakan pakaian bebas.

Vanilla melongo melihat tingkah Naya, "Darkside-nya, elo." Ucap Vanilla seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Enak aja!" delik Naya, "Gue mau main, nanti si Vava sama Firly dateng buat nemenin lo."

Dahi Vanilla kembali mengernyit, "Ngapain sih, mereka dateng segala? Gue yakin, nanti mereka malah ghibah dikamar gue sampe malem."

Naya memutar bola matanya mala seraya mensleting jaketnya, "Entar lo juga bakal ikutan ghibah, ayam!"

*****

ALBARES MADAGASKAR (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang