(54) Tunangan

6.3K 386 12
                                    

BEBERAPA CHAPTER LAGI BAKAL ENDING. BOLEH, ENGGAK, TANYA ALASAN KALIAN BACA CERITA INI? KAN VIEWS NYA MASIH DIKIT. BIASA NYA KAN ORANG MAU BACA CERITA YANG VIEWS NYA UDAH BANYAK.

Oh iya. Btw, author ada typo di part sebelumnya. Pas, anggota Arevas dan Zira mergokin Dilla yang lagi nusuk Vinta.

Disana, cuman ada Rehan, Febrio, Geovano, Popon, dan Leo. Jadi, Enggak ada Albarnya.

Albar lagi mudik sekejap, woke?

ΩJANGAN LUPA UNTUK VOTE AND COMMENT, YAΩ

θHAPPY READINGθ

*****

Albar menatap dirinya miris dari depan kaca. Spesifiknya, ia menatap miris takdirnya yang selau mendapat nasib buruk. Entah apa yang akan ia dapatkan lagi setelah ini.

"Bar."

Panggilan dari Ardhan membuat Albar menoleh keambang pintu. Disana, sudah ada kedua saudaranya yang menampilkan ekspresi bertolak belakang. Avira menampilkan wajah sedihnya, sedangkan Ardhan menampilkan senyumnya.

Albar tahu. Senyum itu merupakan senyum paksaan. Lantas, ia membalas senyum Ardhan. Cowok itu melebarkan tangannya, meminta Avira untuk memeluknya, "Kenapa, Bang?"

Melihat tangan Abangnya yang sudah merentang, Avira langsung memeluk Albar erat.

Albar mengelus puncak rambut Avira seraya tersenyum tipis, "Kok nangis?" tanya Albar.

"Avira tau, Abang dipaksa sama Papa, kan?" Avira mendongakan kepalanya menatap Albar sendu.

"Enggak, kok. Kata siapa Abang dipaksa?" bohong Albar. Tujuannya berbohong, karena ia tidak mau kalau adiknya sampai ikut benci pada Papanya juga.

"Avira tau dari Bang Ardhan," Avira menunjuk Ardhan yang sekarang tengah berdiri dihadapan mereka berdua.

Mata Albar melirik Ardhan. Cowok itu tengah memasukan kedua tangannya kedalam saku celana.

"Enggak usah bohong, Bar. Gue tau, lo dipaksa sama Papa." Ujar Ardhan.

"Bang," Albar menatap Ardhan, memintanya untuk tidak membahas ini didepan Avira, "gue udah ikhlas___"

"Jangan munafik, Bar." Sarkas Ardhan, "kalau lo gak mau, ayo, kita lurusin bareng-bareng. Gue enggak peduli kalau nanti kita jatuh miskin. Yang penting, masa depan lo cerah."

Albar tertawa getir mendengar kalimat Ardhan, "Bahkan, nasib gue aja emang udah suram, Bang. Enggak bakal cerah."

"Abang."

Suara Avira membuat Albar menoleh menatap adiknya, "Kenapa?"

"Pacar Abang gimana keadaanya?"

Tubuh Albar langsung berdesir begitu hebat setelah Avira mengatakan kalimat itu. Bahkan, sejak tadi ia sama sekali tidak memikirkan Vanilla. Pikirannya malah terfokuskan pada beban utamanya saat ini.

"Dia rela, kalau Abang tunangan sama Neisya?" tanya Avira dengan suara seraknya.

"Albar! Cepat turun. Semua tamu sudah pada berdatangan!" bentak Fathan dari ambang pintu.

ALBARES MADAGASKAR (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang