(66) Hadiah Saat Pensi

5.3K 330 2
                                    

JANGAN LUPA VOTE AND COMMENT, YA.

HAPPY READING

*****

Waktu sudah menunjukan pukul lima sore. Tetapi, dua insan yang tengah menikmati hembusan angin itu tak beranjak pulang meskipun awan akan menurunkan hujan.

"Bar." Suara Vanilla menginterupsi pandangan Albar yang tengah menatap air terjun buatan, saksi bisu bagaimana caranya menyatakan perasaan pada Vanilla.

"Kenapa?" tanya Albar seraya menegakan posisi tubuhnya.

Vanilla menggigit bibir bagian bawahnya. Sebenarnya ia merasa malu jika harus mengatakan perasaannya pada Albar lebih dulu. Apalagi, ia bilang akan mengatakan keputusannya kala pensi sekolah berlangsung.

"Eum..."

Seolah tahu dengan gelagat Vanilla, Albar mendekatkan tubuhnya dengan meja agar dapat menggenggam tangan Vanilla. Ibu jarinya mengelus tangan mungil itu seraya tersenyum tipis, "Kamu kenapa? Mau ngomong sesuatu? Atau es krimnya kurang?"

Vanilla memutar bola matanya malas, "Mana mungkin es krimnya kurang. Kalaupun kurang, enggak bakal bisa beli lagi. Orang, kan, es krimnya udah kamu borong semua."

"Oh iya. Aku lupa. Soalnya di otak aku cuman ada nama kamu. Jadinya, aku enggak bisa konsen," kata Albar membuat pipi Vanilla berubah menjadi merah.

Senyum jahil terbit dari wajah Albar. Ia sangat senang jika gadis dihadapannya ini tengah blushing.

"Pipi kamu kenapa? Alergi? Apa alergi es krim kali, ya?"

Dengan cepat Vanilla mencubit bahu Albar garang, "Enak aja. Mana mungkin aku alergi es krim. Bisa gila kalau aku alergi sama makanan yang aku suka," delik Vanilla sembari menutupi pipinya menggunakan kedua tangan.

Kepala Albar geleng-geleng. Ia gemas dengan sikap Vanilla. Dulu, gadis dihadapannya selalu membuatnya naik pitam dan bersikap menyebalkan. Namun, pernyataan itu tidak ada lagi. Yang ada, gadis dihadapannya sangat menguji iman.

Tangan Albar kembali menggenggam tangan Vanilla diatas meja. Ibu jarinya kembali mengusap lembut punggung tangan gadis itu, "Kamu mau ngomong apa emangnya?" tanya Albar dengan suara rendah.

Pertanyaan Albar membuat Vanilla bingung sendiri. Ia bingung harus mengatakannya atau tidak, "Bar..." Vanilla menatap Albar lekat-lekat.

"Hmm..."

"Aku boleh ngambil keputusan sekarang?"

Albar mengerutkan dahinya dengan kedua alis yang saling bertautan. Bukankah, waktu itu Vanilla bilang ingin menyebutkan keputusannya saat pensi yang akan diselenggarakan besok hari?

Lagi lagi cowok itu menerbitkan senyum tipisnya, "Aku enggak terima keputusan kamu. Yang akan mutusin, itu cuman aku. Karena, aku bakal kasih hadiah besok buat kamu. Dan aku, bakal nyanyi khusus untuk kamu."

*****

Hari ini. Hari yang dinantikan oleh ratusan siswa SMA Garena. Jangan tanya mengapa, alasannya karena mereka terbebas dari jajahan para guru-guru killer yang bergentayangan disana.

ALBARES MADAGASKAR (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang