✎ The Best Gift

4.1K 379 2
                                    

Written by reireisane


Enam tahun telah berlalu, tidak ada tanda-tanda kehidupan dari seseorang yang selalu Jaemin tunggu. Berkali-kali dia keliling Korea hanya untuk mencari peruntungan agar (setidaknya) bisa saling bertatap muka walau satu detik, tetapi selama itu juga kesialan terus berlangsung—membuatnya harus kembali ke Seoul dengan tangan kosong.

Jaemin tidak menyerah, dia akan tetap bekerja lembur agar mendapat izin untuk bisa keluar Seoul lagi, bahkan terkadang menggunakan alasan bekerja untuk pergi (tentunya dia akan menyelesaikan pekerjaan dulu). Seringkali Jaemin mendapat teguran dari kakaknya bahwa dia terlalu sering bepergian, tetapi Jaemin tidak peduli, karena tujuannya kali ini lebih penting.

"Aku tidak paham denganmu," itu suara kakak Jaemin, mereka berdua kini berada di ruang eksekutif kantor untuk membahas beberapa masalah yang ada di cabang.

"Tidak paham?" Jaemin memiringkan kepala, cukup untuk membuat wajahnya terlihat di antara berkas yang tengah dibaca.

Kakak Jaemin mengangguk, tanpa melirik ke arah sang adik dia berkata. "Padahal kau tampan, mencari pasangan untukmu juga perkara mudah. Kenapa sampai mencari-cari orang bernama Lee Jeno itu?"

Mendengar pertanyaan sang kakak, Jaemin memejamkan mata dengan dahi mengkerut—tidak lupa bibir mengerucut (seakan dia ikut berpikir). "Kenapa ya? Karena bosan kali," ucap Jaemin asal dengan raut yang kembali normal, sukses membuat kakaknya ingin mencubit gemas kedua pipi Jaemin.

"Aku serius."

Kali ini Jaemin menyimpan berkas yang dia baca bersamaan dengan fokus sang kakak yang beralih padanya, membuat mereka berdua saling bertatapan. Sebuah senyuman terukir di bibir Jaemin.

"Seperti kata kakak tadi, kalau aku mau mencari pasangan tentu saja mudah, tinggal katakan aku anak bungsu keluarga Na maka mereka akan berlutut padaku. Namun, mencari seseorang yang bisa kucintai itu sulit," jelas Jaemin masih disertai senyuman, dia menopang dagu—menatap lurus mata sang kakak yang masih terfokus padanya. "Selama aku mencari dia, tidak ada rasa lelah sedikitpun, dia menjadi motivasiku hingga saat ini."

"Motivasi?" Jaemin mengangguk, menyandarkan tubuhnya dan membereskan berkas di atas meja.

"Menurutmu, siapa yang membuatku rela mengambil banyak pekerjaan? Terus tersenyum walaupun memikul beban berat—" membicarakan itu membuat senyuman Jaemin makin berkembang (rasa hangat memenuhi relung hatinya) dan dia melanjutkan, "—kalau bukan Lee Jeno?"

Kedua mata kakak Jaemin mengerjap, sebuah dengusan keluar dari mulut. Kini ia paham kalau adiknya sudah sangat yakin dengan perasaannya sendiri. Sebagai seorang kakak, dia takut bahwa perasaan Jaemin ini masih abu-abu, hanya sekedar rindu yang disalah artikan. Begitu Jaemin ingin beranjak pergi, sang kakak kembali bersuara.

"Apa dia juga yang membuatmu menyakiti orang?"

(Sempat membuat Jaemin terhenti disertai sebuah tatapan teduh.)

Pria yang hari ini menginjak usia 25 tahun itu tersenyum bangga, seolah perkataan kakaknya merupakan sebuah pencapaian yang fantastis.

"Ya."

---

Lee Jeno, satu nama yang bisa membuat Jaemin gila dibuatnya. Dia adalah seseorang yang pertama kali Jaemin temui di SMA. Seseorang yang memiliki karakter menyebalkan, tertawa seperti tak ada beban, menggoda Jaemin terus menerus hingga membuat pria bermarga Na itu sempat membencinya. Namun, benar kata orang bahwa rasa benci yang berlebihan dapat menimbulkan rasa suka.

Awalnya, Jaemin menyangkal rasa suka pada Jeno, setiap debaran dan juga hawa panas ketika lelaki bermarga Lee itu berulah—seringkali ia asumsikan sebagai rasa benci yang hebat. Hingga lama kelamaan Jaemin lelah untuk menyangkal, melihat Jeno bersama perempuan dan lelaki lain atau saat pemuda itu melempar senyum hangat pada orang lain—dia merasa sesak.

✔️Together With NominfessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang