written by nominflos
Bahagia dan sedih itu satu paket. Tidak boleh egois hanya karena menginginkan bahagia. Terkadang sedih juga bisa menjadi alasan kita untuk nantinya merasakan bahagia.
✤✤
"Why are you crying, baby?"
Ada senyuman yang tergambar di wajahnya ketika melihat anak tampannya di seberang sana sedang menenggelamkan kepalanya diantara lipatan tangan. Ia bisa melihat dengan jelas, bahu tegap anaknya yang bergetar lalu di susul dengan isakan pelan.
'Ini salah Papi. Kenapa malah mengirimiku pesan seperti itu? Aku bahkan sengaja mau melupakan hari ini.'
"Kenapa sengaja dilupakan, hm?"
'Terlalu kelabu untuk di ingat, Pi.'
"Hidup kan tidak selalu tentang bahagia, anak tampan. Lupa?"
Bibir merah muda tipisnya sedikit melengkung kebawah ketika melihat wajah anaknya yang sembab. Kilasan memori membawanya kembali ke hari 'kelabu' baginya, bagi keluarga kecilnya. Ia sebenarnya sudah menahan air mata yang berdesakan ingin keluar. Rasa sakit yang menusuk tepat di jantungnya, hawa dingin yang mendominasi ruangan tempatnya biasa beristirahat sembari memeluk dunianya.
'I know, Pi. Bahagia dan sedih itu satu paket. Tidak boleh egois hanya karena menginginkan bahagia. Terkadang sedih juga bisa menjadi alasan kita untuk nantinya merasakan bahagia.'
"Anak pintar. Nah, karena sekarang pekerjaan Papi juga sudah selesai dan di sana sudah lewat jam tidurmu, Papi yang akan bercerita untukmu. Bagaimana?"
'Okay, please tell me more about him. I miss him so much.'
"Baiklah, siap?"
'I'm ready, captain.'
✤ f l a s h b a c k ✤
Cuaca hari ini sedang panas. Dalam artian benar-benar panas sehingga membuatnya harus melepas jaket jeans yang dipakainya. Menyisakan kaus putih bergambar karakter anime dari komik favoritnya—detektif conan—dan juga celana kain yang sudah digulungnya hingga di bawah lutut.
Iris cokelat tua miliknya berkedip pelan. Memperhatikan setiap orang yang berlalu-lalang di hadapannya. Beberapa selebaran—yang tadi dibagikan olehnya—berceceran di jalan. Ada juga yang terang-terangan membuang selebaran itu di tempat sampah.
"Panasnya, ya Tuhan. Kalau aku ini lilin mungkin sekarang aku sudah melumer di sepanjang jalan. Lagipula, bos macam apa yang malah menyuruh kita membagikan selebaran di hari yang sudah seperti simulasi memasuki pintu neraka. Gila.."
Itu Haechan, teman baiknya sejak mereka masih sama-sama tinggal di panti asuhan. Keduanya memutuskan untuk keluar dari panti asuhan setelah mereka lulus sekolah menengah atas. Memilih untuk bekerja sambilan sembari melanjutkan pendidikan di bangku kuliah.
"Bersyukur donatur tetap panti asuhan masih mengirimi kita uang saku juga setiap bulan. Kalau tidak, sudah bisa dipastikan aku akan mencari sugar daddy saja."
Ia menoleh sekilas kearah Haechan yang masih mengipas-ngipaskan selebaran di wajahnya. Tidak habis pikir dengan isi pikiran sahabat baiknya ini.
"Ya sudah, kalau Haechan mau mencari papa gula, aku juga ikut."
"Jangan mengikuti aku juga, Na Jaemin. Lebih baik cari calon suami saja sana yang kaya."
—
KAMU SEDANG MEMBACA
✔️Together With Nominfess
Fanfiction☆.。.:* Special Edition .。.:*☆ This book brought to you from the collaboration with a twitter autobase; @nominfess_ Come, and hope you'll find a little things called happiness in these simple love stories about the lover and his dearest. ©2020 withno...