11 - Fireflies

589 25 0
                                    

Aku bersyukur lagu ini segera berakhir dan tak ada cela yang kubuat yang akan mengacaukan semua kerja keras kami selama ini. Ada sesuatu yang berdenyut-denyut menyakitkan didalam sini, rasa sakit yang aku tau tidak seharusnya ada, tapi tetap menghampiri tanpa bisa kucegah.

“Ran, urus gitarku yah”, aku berlari bergegas menuruni tangga panggung menuju backstage untuk mengambil beberapa barang dan tasku, Rana yang menunggu di dekat panggung hanya melongo menatap kepergianku yang buru-buru.

“Bry, please bry aku mau ngomong sebentar”, lenganku digenggam erat oleh seseorang yang kuduga Nikki, bagaimana dia bisa sampai disini? Aku berusaha untuk tidak menoleh sedikitpun, ku lepaskan tangannya sekuat tenaga dan bergegas pergi.

“Please Bry, yang tadi bukan itu bukan seperti yang kamu lihat”.

“Lepas!!!, udah ya Nik ga perlu ngomong apa-apa dan aku ngga mau dengar apapun, lagian aku siapa sehingga penting buat dengerin penjelasanmu?”, nafasku tersengal-sengal dan kepalaku mulai berdenyut, sambil memijit pelipis aku menghindarinya dan menyusuri trotoar mencari taksi, kurasakan dia masih tetap mengikutiku, sekilas kulihat wajahnya, tatapannya seperti memohon dan tersiksa. Sambil melambaikan tangan aku menghentikan taxi yang sedang melintas, kulihat dia hanya diam menatap kepergianku, aku membencinya.

***

Kupandangi muda-mudi yang sedang kasmaran, memilih taman ini sebagai tempat kencan hemat, sesekali pedagang tahu gejrot atau penjaja minuman wara-wiri sambil menawarkan dagangannya. Aku bahkan lupa bagaimana akhirnya aku bisa sampai di tempat ini, tempat yang lumayan tenang yang di pilihkan bapak supir taksi tadi untukku. Malam telah beranjak larut ketika kulirik jam tanganku yang menunjukkan pukul setengah sepuluh, badanku lelah dan kepalaku sakit tapi semuanya tidak sebanding dengan hancurnya perasaanku. Mungkin 'banyak hal yang terjadi' seperti kata-kata Nikki kemarin termasuk pemandangan yang kusaksikan dengan mataku sendiri ketika grand final tadi, Seharusnya aku mengerti dan nggak perlu terlalu mendramatisir perasaanku, itu semua hanya membuatku semakin terpuruk. Dibangku taman ini aku meratapi kebodohan dan kesakitanku yang datang seperti tombol otomatis ketika perempuan tadi memeluknya, bahkan mungkin memilikinya. Aku rasa begitu. Dengan bodohnya aku mengakui,aku nggak suka, dan aku mungkin cemburu.

Sudah satu jam aku duduk sendiri disini, hanya diam dan melamun, sesekali aku mendapati beberapa pasangan yang lewat menatapku terang-terangan, karena tidak seperti yang lainnya ditaman ini yang memiliki pasangan, aku cuma sendirian. Walaupun sejak tadi aku juga merasakan seseorang seperti menatapku, aku benar-benar nggak perduli. Sakit dikepalaku semakin menyiksa ,berdenyut-denyut hingga membuat telingaku berdenging, mencoba mengabaikannya dengan tidak menyentuh obat yang sebenarnya ada didalam tasku. Hanya sebagai pengalihan, setidaknya bagiku sakit dikepalaku ini nyata, dan jelas sebabnya karena aku memang belum makan malam, tidak seperti kesakitan asing yang meremas-remas hati dan perasaanku, rasa sakit yang aku tahu jelas apa penyebabnya dan tau dengan pasti bahwa aku tidak pantas merasakannya. Ironis!

Batre Hpku akhirnya menyerah setelah puluhan kali bergetar dan akhirnya kehabisan tenaga, getaran terakhirnya yang panjang menandakan energinya yang terakhir telah padam. Mungkin ibu, atau Rana, mungkin juga Tama, atau fajar, atau Tio atau siapapun itu aku nggak perduli, getaran demi getaran sejak satu jam yang lalu kuabaikan tanpa melirik sedikitpun kepada tas kecil yang talinya tersampir dari bahu kanan ke pahaku. Aku hanya menatap, atau tepatnya terlihat sedang menatap kepada apapun yang mungkin ada di hadapan dan sekelilingku tanpa tau apa yang ada disana. Kenapa sakitnya seperti ini? Apa memang harus seperti ini?

Sudah jam setengah dua belas, dan akhirnya sakit kepalaku mengalahkan semua rasa sakit dibadanku, sambil tertatih aku berdiri, mencoba membawa diriku menuju trotoar terdekat untuk mencari taksi dan berencana kembali ke hotel. Sekilas kulihat seseorang di ujung taman ikut berdiri, hanya sendirian sepertiku, mungkin sedang patah hati juga.

Entah memang sedang berkabut atau lampu taman ini sedang di setting lebih redup, benda mati disekitarku mulai samar dan terlihat menggelap, desing di telingaku juga semakin terdengar jelas. Kupaksakan akamodasi mataku membesar dan mengecil agar bisa melihat dengan jelas jalan setapak paving blok yang berkelok dihadapanku, sedikit lagi aku tiba di trotoar, tinggal menunggu taksi dan tidur di hotel, dan besok pagi aku akan merasa enakan dan bisa bersiap untuk pulang.

Sekarang mungkin mataku yang bermasalah, karena benda-benda disekitarku mulai bergerak membesar lalu mengecil, lucu sekali seperti melihat menggunakan lensa fish eye lalu dilepas dan memasangnya lagi berulang kali. Sambil melangkah pelan kurasakan bibirku tertarik, menyunggingkan senyum getir mendapati hal lucu ditengah-tengah perasaan yang kacau balau. Dan anehnya seiring benda-benda itu membesar dan mengecil, bergerak seirama denyutan menyakitkan dikepalaku. Lalu tubuhku terasa ringan, langkahku melayang seperti kapas, benda-benda yang lucu tadi juga berganti menjadi ribuan kunang-kunang berwarna kuning dan putih. Tapi dari semua perasaan aneh tadi yang paling aneh adalah jalan setapak berkelok tadi kini hilang, lalu rasa sakit yang aneh perlahan menjalari seluruh tubuhku.

Ada suara yang familiar disini, suara yang memang kuharapkan menemaniku, suara yang bisa menghapus seluruh gundahku, menghapus semua rasa sakitku, memanggil-manggil namaku lirih. Tapi irama panggilannya menyiratkan kepedihan yang mendalam, menggodaku untuk menenangkannya, menariknya kedalam pelukanku dan mengatakan 'semuanya baik-baik saja'. Apa-apaan ini. “Aku pasti Sudah Gila”.

White MelodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang